Murottal Al-Quran

Selasa, 10 November 2009

Wajibnya Mencari Ilmu

Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang Muslim. " (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah). )

Ibnul-Jauzy mengatakan, "Orang-orang saling berbeda pendapat tentang ilmu yang diwajibkan ini."

Para fuqaha' (ahli fiqih) mengatakan, bahwa yang dimaksudkan ada¬lah ilmu fiqih. Karena dengan ilmu ini bisa diketahui mana yang halal dan mana yang haram. Para mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadits) mengatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah Kitab dan Sunnah.

dengan keduanya seseorang bisa mencapai semua cabang ilmu. Orang¬orang sufi mengatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu ikhlas dan ujian-ujian jiwa. Para mutakallim (teolog) berkata, bahwa yang dimaksud¬kan adalah teologi.

Begitu seterusnya. Masing-masing pihak mengeluarkan pernyataan yang sama sekali tidak memuaskan. Yang benar adalah ilmu mu'amalah hamba terhadap Rabb-nya. Mu'amalah yang dibebankan di sini meliputi tiga macam: Keyakinan, perbuatan dan apa yang harus ditinggalkan.
Jika seorang anak sudah beranjak besar, maka pertama-tama yang harus dia pelajari adalah dua kalimat syahadat dan memahami maknanya, sekalipun pemahaman ini tidak harus dengan penelaahan dan penyertaan dalil. Sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya meminta pem¬benaran dari orang-orang Arab yang bodoh, tanpa menuntut mereka untuk mempelajari dalil. Tapi yang pasti hal ini hanya dikaitkan dengan waktu alias temporal. Setelah itu dia tetap dituntut untuk menelaah dan menge¬tahui dalil.

Jika sudah tiba waktunya untuk mendirikan shalat, maka dia harus mempelajari cara bersuci dan shalat. Jika tiba bulan Ramadhan, dia harus mempelajari puasa. Jika dia mempunyai harta benda dan waktunya sudah mencapai satu tahun, maka dia harus mempelajari masalah zakat. Jika tiba musim haji dan memungkinkan baginya untuk pergi berhaji, maka dia harus mempelajari manasik haji dan hal-hal yang berkaitan dengan pelak¬sanaan haji.

Tentang hal-hal yang harus ditinggalkan, maka tergantung kondisi¬nya. Sebab tidak mungkin orang yang buta bisa inempelajari apa yang tidak mungkin dia lihat, dan orang bisu tidak mungkin bisa mengucapkan apa yang memang tidak bisa dia ucapkan. Jika di suatu negara ada kebiasaan minum khamr dan mengenakan pakaian sutra, maka dia wajib mengetahui pengharaman dua hal ini.

Tentang keyakinan, maka harus diketahui dan dipelajari berdasarkan sentuhan rasa. Jika terbetik suatu perasaan yang meragukan makna-makna yang ditunjukkan dua kalimat syahadat, maka dia harus mengetahui apa yang membuatnya bisa mengenyahkan keragu-raguan itu. Jika dia berada di suatu negeri yang banyak bid'ahnya, maka dia harus mencari mana yang haq, sebagaimana seorang pedagang yang di sekitarnya memasyarakat praktek riba, maka dia harus mempelajari bagaimana cara mewaspadai riba itu.

Anak itu juga harus mempelajari iman kepada hari berbangkit, surga dan neraka.

Dari penjelasan ini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ilmu yang harus dicari adalah yang termasuk dalam fardhu ain, atau apa yang memang berkait dengan diri seseorang.

Sedangkan yang termasuk fardhu kifayah adalah setiap ilmu yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup di dunia, seperti ilmu kedokteran. Sebab ilmu ini sangat urgen dan diperlukan untuk menjaga kesehatan badan. Begitu pula ilmu hitung, yang sangat dibutuhkan untuk membagi harta warisan, wasiat, hitungan jual beli dan lain-lainnya. Jika penduduk suatu negeri tidak ada yang mempelajari dan menguasai ilmu¬ilmu semacam ini, maka mereka semua adalah orang-orang yang berdosa. Tapi jika sudah ada seseorang atau dua orang yang menguasainya, maka kewajiban menjadi gugur bagi yang lain.

Jika kita katakan, ilmu kedokteran dan ilmu hitung termasuk fardhu kifayah, maka tidak heran jika kita katakan bahwa dasar-dasar ilmu ketrampilan juga termasuk fardhu kifayah, seperti ilmu pertanian, jahit¬menjahit, bahkan juga termasuk ilmu membekam. Jika suatu negeri tidak ada yang menguasai ilmu membekam, tentu banyak di antara mereka yang binasa. Sesungguhnya yang menurunkan penyakit, juga menurunkan obatnya, lalu memberi petunjuk cara penggunaannya.

Sedangkan pendalaman lebih jauh dalam ilmu hitung dan spesialisasi dalam ilmu kedokteran, maka ini termasuk keutamaan, karena memang hal ini juga dibutuhkan. Adakalanya sebagian ilmu hukumnya mubah, seperti ilmu sya'ir yang tidak melemahkan pikiran, ilmu sejarah dan lain-lainnya. Adakalanya sebagian ilmu itu tercela, seperti ilmu sihir, sulap dan ilmu untuk memalsu. Sedangkan ilmu syar'iyah, semuanya terpuji, yang bisa dibagi menjadi empat macam:

1. Ilmu ushul (dasar), yaitu Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya, ijma' umat dan perkataan para shahabat.

2. Ilmu furu' (cabang), yaitu apa yang dipahami dari dasar-dasar ini, berupa berbagai pengertian yang *memberikan sinyal kepada akal, hingga dapat memahami apa yang seharusnya dipahami, seperti pengertian yang diambil dari sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Hakim tidak boleh membuat keputusan selagi dia sedang marah", yang berarti dia juga tidak boleh membuat keputusan hukum selagi sedang lapar.

3. Ilmu muqaddimat (pengantar), yaitu ilmu yang berfungsi sebagaimana alat, seperti ilmu nahwu dan ilmu bahasa, yang menjadi alat untuk memahami Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

4. Ilmu mutammimat (pelengkap), seperti ilmu membaca, makhraj huruf, ilmu tentang nama-nama rijal hadits, keadilan dan keadaan mereka. Semua ini disebut ilmu syar'iyah dan semuanya terpuji.

Sumber : Kitab Minhajul Qoshidin, Ibnu Qudamah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar