Murottal Al-Quran

Rabu, 28 April 2010

Kajian Hadits di Masjid Al-Ikhlas Banjarsari (Bab Ghasab)


Berikut adalah catatan hadist dalam pengajian hari ahad 25 April 2010 di Masjid Al-Ikhlas Banjarsari dari Ba'da Isya s.d Pukul 21.00 pada pertemuan kali ini Ust. Saiful Hamdi membahas hadist-hadist tentang Ghasab.

Allah Taala berfirman, yang artinya :

dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui (Q.S Al-Baqoroh : 188).

Allah Taala berfirman, yang artinya :

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (Q.S Al-Kahfi : 79).

Dari Abdullah bin Saib dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya dia mendengar Nabi SAW berkata telah bersabda Rasulullah SAW " Janganlah ada salah seorang kamu mengambil harta sahabatnya baik dengan sungguh-sungguh ataupun dengan senda gurau, Jika salah seorang kamu telah mengambil tongkat sahabatnya, maka hendaklah ia menggembalikan kepadanya"

Dari Abu Hurairah berkata telah bersabda Rasulullah SAW "Janganlah seorang mengambil sejengkal tanah yang bukan haknya, karena niscaya Allah SWT akan mengalungkannya kelak di akhirat tujuh lapis bumi"

Dari Said bin Zaed berkata : saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa yang gugur mempertahankan hartanya Ia Syahid, barang siapa yang gugur mempertahankan agamanya Ia syahid, barang siapa yang gugur mempertahankan darahnya ia syahid, barang siapa yang mempertahankan keluarganya ia syahid.

Dari Said bin Zaid dari Nabi SAW bersabda : Barangsiapa menguburkan sebidang tanah yang mati (tidak ada pemilik) maka tanah itu menjadi haknya dan bagi keringat yang aniya tidak berhak apa-apa.



Dari Aisyah...... maka bersabda Rasulullah SAW : Apakah kamu (Usamah) memberi bantuan mengenai suatu hukuman dari hukuman-hukuman yang telah ditetapkan Allah? Kemudian berdirilah (Rasulullah), Maka berkhotbah : Hai Manusia sesungguhnya rusak-nya umat sebelum kamu sekalian adalah karena apabila ada seorang bangsawan dikalangan mereka yang mencuri mereka biarkan, tapi bila yang mencuri itu seorang dhoif di antara mereka maka mereka hukum dia. Sumpah demi Allah, Seandainya Fatimah bin Muhammad Mencuri niscaya saya potong tangannya.

Catatan Pengajian (Ahad, 25 April 2010)

Berikut adalah catata pengajian yang rutin setiap ahad ba'da magrib di Mesjid Fastabikul Khoirot bersama Ust. H. Saiful Hamdi S.Ag yang pada pertemuan kali ini sampai pada bahasan tafsir Al-Quran tentang Riba diantaranya :

Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.

[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.




Allah Subhanahu Wataala Berfirman, yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Q.S Al-Imran : 130)

[228] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

Allah Subhanahu Wataala berfirman, yang artinya :

Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih (Q.S An-Nisa : 161)


Allah Subhanahu Wataala berfirman, yang artinya :

dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Q.S. Ar-Rum : 39)

Minggu, 25 April 2010

Mutiara Salafussoleh


Ja’far bin Sulaiman berkata bahwa dia mendengar Robi’ah menasehati Sufyan Ats Tsauri, “Sesungguhnya engkau bagaikan hari yang dapat dihitung. Jika satu hari berlalu, maka sebagian darimu juga akan pergi. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu, namun engkau merasa seluruh yang ada padamu ikut pergi. Oleh karena itu, beramallah.” (Shifatush Shofwah, 1/405, Asy Syamilah)

al Hasan al Bashri pernah berkata, “wahai anak adam sesungguhnya engkau hanyalah sekumpulan hari-hari, maka jika telah berlalu hari, maka seakan-akan sebagian dari dirimu telah pergi”

Lihatlah, siapa gerangan sahabatmu?


“Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seseorang dari kalian memperhatikan dengan siapa ia akan berteman.” (HR Abu Dawud, no. 4833 dan At-Tirmdzi)

“Janganlah bersahabat, kecuali dengan orang yang beriman, dan janganlah makan makananmu, kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud no. 4873, At-Tirmidzi, no. 2395)

“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Bagi penjual minyak wangi, boleh jadi ia menyengatmu, atau engkau membeli darinya. Mungkin juga engkau hanya mendapatkan bau wangi darinya. Adapun pandai besi, bisa jadi ia membakar bajumu atau engkau mendapat
bau tidak sedap darinya.” (HR Bukhari Muslim)

Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali z berkata: “Selayaknya seseorang berteman dengan orang yang dapat memberinya manfaat dalam perkara agamanya.” Al-Hasan al-Bashri t berkata: “Saudara-saudara kami lebih kami cintai dari keluarga dan anak-anak
kami. Sebab keluarga kami mengingatkan kami akan dunia, sedangkan saudara-saudara kami mengingatkan kami akan akhirat.” (sumber: Setinggi Cita Wanita Perindu Surga)

Salah seorang ulama berkata: “Teman itu ada tiga, teman yang seperti udara, teman yang seperti obat, dan teman yang seperti racun.”

Teman yang seperti udara adalah teman yang kamu yang kamu tidak akan pernah merasa cukup dengannya, ia senantiasa mendekatkan dirimu kepada Allah dan memperkenalkamu dengan-Nya, ia juga membuatmu senang untuk selalu mengingat-Nya.

Teman yang seperti obat adalah teman yang selalu memberikan manfaat, namun kamu tidak memerlukannya kecuali kamu membutuhkannya, sebagaimana kamu jarang memerlukan pembuat roti, tukang kayu, tukang jahit, dan yang semisalnya.



Adapun teman yang seperti racun adalah teman yang selalu mendzalimi kamu, ia seperti racun yang dapat membunuh dengan cepat, ia adalah teman yang akan mendekatkan kamu kepada neraka dan menuntunmu untuk hidup hina di dunia dan di akhirat. (sumber: Setinggi Cita Wanita Perindu Surga oleh Hasan bin Muhammad ass-Syarif)

Celakalah engkau wahai Dinar


“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah
mereka kerjakan dahulu.” (QS Al-Hijr [15] : 92-93)

Sebuah kisah menarik tentang Dinar Al-Ayyar. Dinar mempunyai seorang ibu yang shalihah, yang selalu menasihatinya untuk bertaubat dari kemaksiatan dan dosa-dosanya.

Namun sebanyak apapun dia mencoba, katakatanya tidak pernah membawa pengaruh yang baik terhadap puteranya. Lalu pada suatu hari ketika Dinar berjalan melewati sebuah pemakaman, ia berhenti untuk mengambil sebuah tulang; dia terkejut menyaksikan bagaimana tulang itu remuk dan menjadi debu ditangannya.

Pemandangan tulang itu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Dinar. Dia mulai berpikir tentang kehidupan dan dosa-dosanya di masa lalu, kemudia dia berteriak, “Celakalah engkau wahai Dinar, engkau akan berakhir seperti tulang yang hancur ini, dan tubuhmu akan berubah menjadi debu.” Semua dosa di masa lalunya berkelabat di depan matanya, dan dia berketetapan hati untuk beraubat.

Sambil mengarahkan pandangannya ke langit ia berkata, “Tuhanku, kini aku menghadap-Mu dengan kepasrahan yang sempurna, maka terimalah dariku, dan berilah rahmat-Mu kepadaku.”

Dengan ketetapan hati dan pikiran yang telah berubah, Dinar datang kepada ibunya dan berkata, “Wahai ibu, apakah yang dilakukan seorang tuan ketika menangkap budaknya yang telah lari darinya?”

Untuk menghukum Dinar Ibunya berkata, “Tuan itu lalu menyediakan baginya pakaian kasar dan makanan yang buruk, dan mengikat tangan dan kakinya, agar dia tidak mencoba untuk lari lagi.”

Dinar berkata. “Kalau begitu aku ingin pakaian dari kain wol yang kasar, gandum yang buruk dan dua rantai. Wahai ibu, lakukanlah kepadaku apa yang dilakukan terhadap hamba sahaya yang melarikan diri.

Mungkin setelah melihat kehinaan dan kerendahanku, Dia akan merahmati aku.” Melihat ketetapan hati dan kesungguhan permintaan anaknya, ibunya pun menurutinya.

Pada awal malam berikutnya, Dinar mulai menangis dan meratap tak terkendali. Dan dia terus-menerus mengulang kata-kata, “Celakalah engkau wahai Dinar, apakah engkau memiliki kekuaatan untuk menahan api neraka! Betapa tidak tahu malunya dirimu, menjalani hidup yang membuatmu pantas untuk mendapatkan murka Yang Maha Kuasa!” Dia terus berada dalam keadaan demikian sampai pagi.

Menjadi lesu dan pucat, tubuh Dinar perlahan-lahan menjadi kurus. Tak sanggup melihatnya terus meratap dalam keadaan yang menyedihkan itu, ibunya berkata: ”Anakku, kasihanilah dirimu.”

Dia menjawab: ”Ibu, biarlah aku merasa letih selama beberapa saat, mungkin aku bisa mendapatkan kenyamanan yang panjang setelahnya. Karena esok, aku akan menunggu dihadapan Tuhanku yang Maha Tinggi, dan aku tidak tahu apakah Dia akan memerintahkan aku untuk memasuki tempat naungan yang indah, atau ke tempat dengan kengerian yang tak dapat dikatakan.”

Ibunya berkata, ”Anakku, setidaknya beristirahatlah barang sebentar.” Dinar berkata, ”Bukan istirahat di waktu sekarang yang aku cari, ibu. Seolah aku melihat engkau dan orang-orang ditunjukkan jalan menuju Surga esok hari, sedangkan aku ditunjukkan kepada Neraka bersama-sama dengan penghuninya.” Sang ibu lalu meninggalkannya, dan ia kembali menangis, beribadah, dan membaca Al-Qur’an. Suatu malam ketika membaca Al-Qur’an, ia melewati ayat berikut:

”Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS Al-Hijr [15] : 92-93)

Ketika dia mentadaburi artinya dan maksud dari ayat tersebut, dia menangis sejadi-jadinya hingga pingsan. Ibunya segera mendatanginya dan berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkannya, tetapi dia tidak bereaksi.

Ibunya mengira dia telah mati. Melihat ke wajah anaknya tercinta, dia berkata, ”Duhai anakku sayang, duhai permata hatiku, dimana kita akan bertemu lagi?” Ternyata Dinar masih hidup, dan mendengar perkataan ibunya, dia menjawab dengan suara lirih.

”Ibu, jika engkau tidak menemukanku di padang mashyar yang luas, maka bertanyalah kepada Malik, sang penjaga Neraka, tentangku.” Lalu dia pun mati.

Setelah selesai memandikannya, ibu Dinar mempersiapkan pemakamannya. Dia keluar dan membuat pengumuman. ”Wahai manusia, datangilah shalat jenazah dari seseorang yang terbunuh karena (ketakutannya terhadap) neraka.

” Orang-orang pun berdatangan dari segala penjuru, dikatakan bahwa pada masa itu, tidak ada perkumpulan yang lebih besar dan tidak ada air mata yang ditumpahkan melebihi hari itu.

Pada malam yang sama setelah pemakamannya, salah seorang teman Dinar melihatnya di dalam mimpi, mengenakan jubah hijau. Dinar berjalan dengan gembira mengitari Surga, sambil membaca ayat ini:

”Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.”

Dalam mimpi, temannya mendengar dia berkata: ”Demi Dia yang Maha Kuasa, Dia bertanya kepadaku (tentang amal perbuatanku). Dia merahmatiku, Dia mengampuni dan memaafkanku (dosa-dosaku). Wahai, sampaikanlah berita ini kepada ibuku.”

(Sumber: Stories of Repentance, oleh Muhammad Abdul Mughawiri)

Jumat, 23 April 2010

Dia adalah Saudariku.....!



Kisah berikut ini diambil dari buku Azzaman al-Qadim yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dibawakan oleh Muhammad Alshareef pada MYNA Zona East Conference. Sebuah kisah yang begitu menyentuh, untuk mengingatkan kita semua agar mensyukuri tarikan nafas kita pada hari ini dengan bersegera pada ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Karena esok, atau mungkin sesaat lagi, kita akan berlalu dari dunia ini, menuju kepada kebahagiaan abadi, atau siksa abadi....!

Pipinya cekung, dan kulitnya membalut tulangnya. Hal itu tidak menghentikannya karena engkau takkan melihatnya tidak membaca Al-Qur’an. Dia selalu terjaga di ruang shalatnya yang ayah bangun untuknya. Ruku’, sujud, dan mengangkat tangannya ketika shalat, seperti itulah dia sejak fajar hingga matahari terbenam dan kembali lagi, kejenuhan itu untuk orang lain (bukan bagi dirnya).

Adapun aku, aku kecanduan tidak lain selain majalah fashion dan novel. Aku keranjingan video hingga perjalanan ke tempat sewa video menjadi trademark-ku.

Ada sebuah pepatah bahwa jika sesuatu telah menjadi kebiasaan, orang-orang akan mengenalimu dengannya. Aku lalai dari kewajibanku dan shalatku ditandai dengan kemalasan.

Suatu malam, setelah tiga jam yang panjang menonton, aku mematikan vedio. Adzan dengan lembut membangunkan malam. Aku menyelinap dengan damai ke dalam selimutku.

Suaranya memanggilku dari ruang shalatnya. ”Ya? Kamu ingin sesuatu Noorah?”
Tanyaku.

Dengan jarum tajam dia memecahkan rencanaku. ”Jangan tidur sebelum kamu shalat Fajar!”

Agghh! ”Masih ada waktu satu jam sebelum Fajar, Itu hanya Adzan pertama.” Kataku.

Dengan suaranya yang merdu dia memanggilku mendekat. Dia selalu seperti itu bahkan sebelum penyakit ganas itu mengguncangkan jiwanya dan menahannya di tempat tidur. ”Hanan, maukah kamu duduk di sisiku?”

Aku tidak pernah dapat menolak permintaannya, engkau dapat merasakan kemurnian dan keikhlasan pada dirinya. ”Ya Noorah?”

’Duduklah disini.”

”Baiklah, aku duduk. Apa yang kau pikirkan?”

Dengan suaranya yang manis dia membaca berhenti sambil berpikir. Kemudian ia bertanya, “Kamu percaya kematian?”



“Tentu saja.” Jawabku.

“Apa kamu percaya kamu akan bertanggungjawab terhadap apapun yang kamu kerjakan, tidak perduli itu kecil atau besar?”

“Aku percaya, tetapi Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kehidupan masih panjang menantiku.”

“Hentikan Hanan! Apa kamu tidak takut dengan kematian dan kedatangannya yang tiba-tiba? Lihat Hind. Dia lebih muda darimu tetapi dia mati dalam kecelakaan mobil.

Kematian buta terhadap usia dan umrmu tidak dapat mengukur kapan kamu akan mati.”

Kegelapan kamar itu memenuhi kulitku dengan ketakutan. “Aku takut gelap dan sekarang kamu menakutiku dengan kematian. Bagaimana aku bisa tidur sekarang?

Norah, kukira kamu sudah berjanji untuk pergi bersama selama liburan musim panas.”

Suaranya pecah dan hatinya gemetar “Aku mungkin akan menempuh perjalanan yang panjang tahun ini Hanan, tetapi di tempat yang lain. Kehidupan kita semua berada di tangan Allah dan kita semua adalah milik- Nya.”

Mataku basah dan air mataku mengalir di kedua pipiku. Aku memikirkan penyakit ganas saudariku. Dokter telah mengabarkan kepada ayahku secara pribadi, tidak banyak harapan Norah dapat mengalahkan penyakitnya. Dia tidak diberitahu, saya jadi bertanya-tanya, siapa gerangan yang mengabarkan kepdanya. Atau apakah dia dapat merasakan kebenaran?

“Apa yang kamu pikirkan Hanan? Suaranya terdengar tajam. “Apa kamu mengira aku mengatakan ini hanya karena aku sakit? Aku harap tidak. Bahkan, aku mungkin hidup lebih lama dari orang-orang yang sehat.

Berapa lama kamu akan hidup, Hanan?

Mungkin dua puluh tahun? Mungkin empat puluh? Lalu apa?” Dalam gelap dia menyentuh tanganku dan menekannya lembut. “Tidak ada perbedaan antara kita.

Kita semua akan pergi meninggalkan dunia ini untuk tinggal di dalam Surga atau
sengsara di dalam Neraka.

“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.” (QS Al-Imran [3] : 185)

Aku meninggalkan kamar saudariku dalam keadaan limbung, kata-katanya mengiang di telingaku, “Semoga Allah menunjukimu Hanan, jangan lupakan shalatmu.”

“dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia),” QS Al-Qiyamah [75] : 28)

ku mendengar gedoran di pintuku pada pukul delapan pagi. Aku tidak biasa bangun
di waktu seperti ini. Ada tangisan dan kebingungan. Ya Allah, apa yang terjadi?

Kondisi Norah menjadi kritis setelah Fajar, mereka segera membawanya ke rumah sakit.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Tidak akan ada perjalanan musim panas ini. Telah ditakdirkan aku akan menghabiskan musim panas di rumah.

Seolah waktu berlalu selamanya ketika tiba jam 1 siang. Ibu menelepon rumah sakit.

“Ya, kalian bisa datang dan menjenguknya sekarang.” Suara ayah berubah dan ibu dapat merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi. Kami segera berangkat.



Dimana jalan yang sering kulewati dan kukira sangat singkat? Mengapa ini terasa
begitu lama? Dima keramaian dan lalu lintas yang selalu memberiku kesempatan untuk menoleh ke kiri dan ke kanan? Semua orang menyingkir dari jalan kami!


Ibu menggelengkan kepalanya dalam tangannya menangis ketika ia berdoa bagi
Norah. Kami tiba di loby rumah sakit. Seorang laki-laki mengerang, sedangkan
yang lainnya korban kecelakaan. Dan mata laki-laki ketiga terlihat sedingin es. Engkau tidak bisa memastikan apakah dia mati atau hidup.

Norah berada dalam ruang ICU. Kami menaiki tangga menuju ke lantai (kamar)nya.
Suster mendekati kami, “Mari kuantarkan kepada Norah.”

Ketika kami berjalan sepanjang koridor, suster bercerita betapa manisnya Norah. Dia sedikit banyak meyakinkan ibu kalau keadaan Norah lebih baik daripada pagi tadi.

“Maaf. Tidak boleh lebih dari satu orang pengunjung memasuki kamar.” Kata suster
tersebut.

Ini adalah kamar ICU. Menatap ke arah jubah putih selembut salju, melalui jendela kecil di pintu, aku melihat mata saudariku. Ibu berdiri di sisinya. Setelah kurang-lebih dua menit, ibu keluar tak dapat menahan tangisnya. “Kamu boleh masuk dan
mengucapkan salam kepadanya dengan syarat kamu tidak berbicara terlalu lama dengannya,” mereka berkata kepadaku. “Dua menit cukup.”

“Bagaimana keadaanmu Norah? Kamu baikbaik saja semalam saudariku, apa yang terjadi?”

Kami berpengangan tangan, dia menekannya lembut. “Sekarang pun, alhamdulillah, aku baik-baik saja.”

“Alhamdulillah... tapi.. tanganmu sangat dingin.”

Aku duduk di sisi tempat tidurnya dan meletakkan tanganku di lututnya.

Ia tersentak, “Maaf, sakit ya?”
“Tidak, hanya saja aku teringat firman Allah.”

“dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).” (Al-Qiyamah [75] : 29)

“Hanan doakan aku. Mungkin aku akan segera bertemu hari pertama dari hari akhirat (yakni di kuburan). Itu adalah perjalanan yang panjang dan aku belum mempersiapkan amalan yang cukup dalam perbekalanku.”

Sebutir air mata menitik dan meluncur ke pipiku mendengar kata-katanya. Aku menangis dan dia ikut menangis bersamaku.

Ruangan menjadi kabur dan membiarkan kami dua bersaudara menangis bersama. Tetesan air mata jatuh ke telapak tangan saudariku, yang kugenggam dengan kedua tanganku. Ayah saat ini menjadi lebih khawatir kepadaku. Aku tak pernah mangis seperti ini sebelumnya.

Di rumah dan ditingkat atas di kamarku, aku menyaksikan matahari berlalu dengan hari yang penuh kesedihan. Kesunyian mengapung di koridor rumah kami.

Secara bergiliran sepupu-sepupuku masuk ke kamarku. Banyak pengunjung dan semua suara bercampur baur di lantai bawah.

Hanya satu hal yang jelas saat itu – Norah telah pergi!

Aku berhenti membedakan siapa yang datang dan siapa yang pergi. Aku tidak dapat mengingat apa yang mereka katakan. Ya Allah, dimana aku? Apa yang terjadi?

Aku bahkan tidak dapat menangis lagi.

Beberapa hari kemudian mereka menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Ayah telah manarik tanganku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada saudariku untuk yang terakhir kalinya. Aku mencium kepala Norah.

Aku hanya teringat satu hal ketika menyaksikannya terbujur di tempat tidur tempat dimana dia akan mati. Aku teringat ayat yang dibacanya: Waltaffatitis saaqu bissaaqi “dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).”

Dan aku tahu pasti kebenaran ayat berikutnya: “kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau.” (QS Al-Qiyamah [75] : 30)

Aku menyusup ke ruang shalatnya malam itu. Menatap pada pakaian yang diam dan cermin yang bisu. Aku sungguh menjaga dia yang telah berbagi rahim ibuku denganku. Norah adalah sadara kembarku.

Aku teringat dia yang dengannya aku berbagi kesedihan, memberi ketenangan di hari-hari hujanku. Aku teringat dia yang berdoa agar aku mendapat petunjuk dan dia yang menitikkan begitu banyak air mata pada kebanyakan malam yang panjang mengingatkanku akan kematian dan hisab. Semoga Allah menyelamatkan kami semua.

Malam ini adalah malam pertama Norah yang harus ia lewatkan di kuburnya. Ya Allah, rahmatilah dia dan terangilah kuburnya. Inilah Al-Qur’an dan sajadahnya. Dan inilah pakaian berwarna mawar musim semi yang dia kata-kan kepadaku akan disimpannya sampai dia menikah, pakaian yang hanya di-simpannya untuk suaminya kelak.

Aku teringat saudariku dan menangisi semua hari-hari yang telah lalu. Aku berdoa kepada Allah agar melimpahkan rahmatnya kepada kami, menerima ibadahku dan mengampuniku. Aku berdoa kepada Allah untuk meneguhkan Norah di dalam kuburnya sebagaiamana yang selalu ia ucapkan di dalam doanya.

Pada saat itu, aku berhenti. Aku bertanya kepada diriku apa jadinya jika akulah yang mati. Kemana aku akan menuju? Ketakutan memenuhiku dan air mataku mulai mengalir lagi.



Allahu Akbar. Allahu Akbar.... “Adzan pertama terdengar lembut dari masjid. Ia terdengar begitu indah kali ini. Aku merasa tenang dan nyaman ketika mengikuti bacaan muadzin. Kulilitkan syal di pundakku dan berditi untuk shalat Fajar. Aku shalat seolah itulah shalat terakhirku, shalat perpisahan. persis seperti apa yang Norah lakukan kemarin. Itu adalah shalat Fajar terakhirnya.

Kini, dan Insya Allah sepanjang sisa hidupku, jika aku bangun di pagi hari aku tidak lagi menganggap akan hidup hingga malam, dan di malam hari aku tidak menganggap akan tetap hidup di pagi hari. Kita semua akan menuju perjalanan Norah. Apa yang telah kita persiapkan untuknya?

Sumber: Milis Abdurrahman [dot] Org

Kisah Seuntai Kalung Mutiara


Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi al-Anshari tinggal di Makkah. Setelah melewati waktu yang lama tanpa makanan lebih dari apa yang bisa ditahannya dia menjadi kelaparan dan tidak ada sesuatu yang dapat ditemukan untuk menghilangkan rasa laparnya. Ketika ia berjalan di kota Makkah memikirkan keadaannya, ia menemukan sebuah sebuah tas sutera yang diikat oleh tali sutera pula.

Lalu ia mengambilnya dan membawanya pulang ke rumah. Disana ia membuka tas tersebut dan mendapatkan seuntai kalung mutiara yang tidak pernah ia lihat yang seindah dan dan bernilai seperti kalung itu selama hidupnya.

Namun, jika dia merasa begitu bergembira menemukan barharga berharga seperti itu, kegembiraan itu akhirnya menghilang. Karena ketika ia keluar ke jalan, ia bertemu dengan seorang tua yang mengumumkan bahwa ia telah kehilangan sebuah tas sutera yang berisi kalung yang sangat berharga.

Orang tua tersebut berkata bahwa tersedia hadiah sebesar 500 dinar bagi orang yang mengembalikan tas beserta kalung itu. Banyak orang telah diuji dengan tes serupa (maksudnya pencarian kalung tersebut-pent) mengalami kegagalan, khususnya orang-orang miskin dan orang-orang sangat tergoda dengan nilai benda tersebut. Namun tidak demikian halnya dengan Imam Abu Bakar. Bukannya memikirkan keadaan dirinya, mengajak orang tua itu ke rumahnya dan memintanya untuk menggambarkan tas tersebut, tali pengikat tas, mutiara, serta rantai pengikat mutiara tersebut. Orang tua itu tentu saja memberikan gambaran yang tepat mengenai segala hal, sehingga Imam Abu Bakar mengambil benda yang hilang tersebut dan memberikan kepadanya.

Orang tua itu segera mengambil uang 500 dinar dan mencoba memberikannya kepada Imam Abu Bakar. Namun Imam Abu Bakar menolaknya dan mengatakan bahwa adalah kewajibannya dalam agama untuk mengembalikan barang yang hilang tersebut dan oleh sebab itu tidak pantas baginya untuk mengambil hadiah setelah memenuhi kewajiban tersebut. Orang tua tersebut berusaha untuk memaksa selama beberapa saat, akan tetapi Imam Abu Bakar bersikeras bahwa ia tidak akan mengambil uang itu. Orang tua itu pun kemudian pamit dan pergi.

Tidak lama setelahnya, Imam Abu Bakar berpikir untuk mencari kehidupan yang lain dan sumber penghidupan yang baru, ia meninggalkan kota Makkah dan menjadi penumpang sebuah Kapal . Dalam perjalanannya, kapal tersebut tenggelam. Dan sebagai akibatnya banyak orang yang meninggal, tenggelam besama kapal ke dasar laut.

Kapal tersebut pecah berkeping-keping, dan dengan susah payah Imam Abu Bakar berhasil berpengangan pada salah satu potongan kapal dan tetap mengapung. Ia terus berpegangan pada potongan kapal tersebut selama waktu yang panjang dan ketika ia terdampar pada sebuah pulau yang berrpenghuni, ia tidak mengingat berapa lama ia telah mengapung sendirian di tengah laut.

Sebagai orang baru di pulau itu, ia tidak mengenal seorang pun, dan ia membutuhkan tempat untuk beristirahat dan memulihkan dirinya. Ia duduk di sebuah Masjid. Ketika duduk di dalam masjid sambil membaca Al-Qur’an banyak orang yang mendengarkan dan mendekatinya, memintanya untuk mengajarkan Al-Qur’an.

Dia merasa sangat gembira mengajar mereka. Dan sebagai balasan atas jasanya (mengajar) mereka membayarkan dengan sejumlah besar uang. Kemudian dia menemukan mushaf Al-Qur’an. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk membaca langsung dari Al-Qur’an dan tidak sekedar membacanya berdasarkan ingatannya. Ternyata setidaknya sebagian besar penduduk pulau tersebut buta huruf. Melihat ia bisa membaca, pemimpin orang-orang itu mendekatinya dan bertanya apakah dia dapat menulis. Dia membenarkannya. Maka orang-orang itu pun berkata; ”Ajarilah kami menulis.” Mereka kemudian membawa anak-anak dari segala umur kepadanya dan dia kemudian menjadi guru mereka. Dan dia (imam Abu Bakar) kembali mendapat bayaran yang sangat besar.

Merasa senang dengan kepribadian dan ilmu sang pendatang baru, pemimpin pulau itu mendekatinya dan berkata: ”Diantara kami hidup seorang gadis muda yatim yang kaya, dan kami ingin engkau menikahinya.” Pada awalnya Imam Abu Bakar menolaknya namun mereka terus memaksanya. Akhirnya ia menyerah dan setuju untuk menikahi gadis itu.

Pada hari pernikahannya, pemimpin pulau itu menghadirkan pengantin kehadapan Imam Abu Bakar. Dengan sorot mata penuh takjub, ia mulai menatap pada kalung yang dikenakan gadis itu. Begitu lama ia terpaku menatapnya hingga pemimpin pulau itu berkata: ”Engkau telah menyakiti hati gadis ini, karena bukannya menatapnya engkau malah menatap kalungnya.”

Imam Abu Bakar kemudian menceritakan kisahnya dengan seorang laki-laki tua di Makkah. Orang-orang yang hadir lalu bersyahadat dan bertakbir. Suara mereka begitu keras hingga dapat terdengar oleh seluruh penghuni pulau tersebut.

Imam Abu Bakar berkata, ”Ada apa dengan kalian?”

Mereka berkata: ”Orang tua yang mengambil kalung itu darimu adalah ayah dari gadis ini dan ia selalu berkata: ’Saya belum pernah menemukan seorang Muslim yang sejati dan ikhlas di dunia ini kecuali orang yang mengembalikan kalung ini’, dan dia selalu berdoa: ”Ya Allah, pertemukanlah aku dengan laki-laki itu agar aku dapat menikahkan puteriku dengannya.’” Dan kini, hal tersebut menjadi kenyataan.

Imam Abu Bakar tetap hidup manakala isteri dan anak-anaknya meninggal, dan mewarisi kalung tersebut. Dan kemudian dia menjualnya seharga 100.000 dinar. Ia menjadi seorang yang kaya raya di akhir hidupnya.

Dr. Saleh As-Saleh dalam audio lecture beliau juga membacakan kisah ini. Beliau berkata bahwa ini adalah sebuah kisah yang menakjubkan yang dibawakan oleh Ibnu Rajab dalam komentarnya terhadap biografi Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi (wafat 535 H) dalam Tahabaqat al-Hanabilah, sebagaimana yang dikisahkan Al-Qadhi Abu Bakar kepada Al-Baghdadi. Sumber: Transkirp Audio Book : Gems and Jewels from the Salaf