Murottal Al-Quran

Minggu, 31 Januari 2010

Milyuner Dermawan yang luar biasa


Abdurrahman Bin Auf ra

Setelah perintah hijrah ke Madinah diturunkan, berangkatlah sejumlah besar kaum muslimin untuk memenuhinya dengan tanpa membawa harta maupun perbekalan yang cukup. Sehingga ketika sesampainya di Madinah, Rasulullah salallahu alaihi wasallam mempersaudarakan antara seorang Muhajirin dan seorang Anshar agar terbentuk tali persaudaraan yang kuat dan juga untuk meringankan beban kaum Muhajirin.

Maka, salah seorang sahabat Rasulullah salallahu alaihi wasalam yang terkenal, yaitu Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan seorang An-Shar yang kaya raya, yaitu Sa’ad bin Rabi’.

Berkata Sa’ad kepada Abdurrahman bin Auf “Saudaraku, aku adalah penduduk madinah yang kaya raya, silahkan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang istri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatianmu, akan ku ceraikan ia hingga engkau dapat memperistrinya.” Namun, jawab Abdurrahman bin Auf. “Semoga Allah memberkatimu, istri dan hartamu! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga.”

Setelah diberi petunjuk lokasi pasar, Abdurrahman bin Auf pergi tanpa berbekal modal, lalu berjual beli disana. Sepulangnya dari pasar, ia pun memperoleh keuntungan yang besar yang tak disangka-sangka. Dan tak lama berselang, ia sudah menjadi milyuner baru di kota Madinah.

Keberuntungan Abdurrahman bin Auf dalam perniagaan memang sangat luar biasa, sampai suatu batas yang membangkitkan dirinya rasa takjub dan heran, hingga katanya, “sungguh kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan dibawahnya emas dan perak.”

Perniagaan bagi Abdurrahman bin Auf bukan berarti rakus dan hina. Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu adalah suatu amal dan tugas kewajiban yang keberhasilannya akan menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berkurban di jalan-Nya.

Pada suatu hari setelah wafatnya Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam kota madinah sedang aman dan tentram, tiba-tiba dari arah pinggir kota terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, semakin lama gumpalan debu semakin tinggi menutup pemandangan. Angin yang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiranbutiran saharayang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota, banyak yang menyangka ada angin rebut yang menyapu dan menerbangkan pasir, namun dari balik tirai debu segera terdengar hiruk pikuk yang nenandakan tibanya kafilah besar perniagaan.

Tidak lama kemudian sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya, memenuhi jalan-jalan madinah dan menyibukkan penduduknya. Mereka saling memanggil untuk menyaksikan datannya rezeki yang dibawa kafilah itu. Melihat tingkat kesibukan masyarakat yang sangat tinggi diluar kebiasaannya, Ummul Mukminin “Aisyah ra bertanya, “Apa yang telah terjadi di Kota Madinah..? Mendapat jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari syam membawa barang-barang dagangannya, Ummul mukminin berkata : “kafilah yang telah membuat kesibukan ini?” benar ya umummul mukminin.. karena ada 700 kendaraan…! Ummul Mukminin menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil melayangkan pandangannya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah di lihat atau ucapan yang pernah di dengarnya. Beliau berkata : “Ingat..! aku pernah Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda : “Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk syurga dengan perlahan-lahan!”.

Sebagian shahabat menyampaikan perkataan ‘Aisyah kepadanya, maka ia pun teringat sering mendengar kalimat itu dari Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam dan sebelum tali-temali perniagaan dilepaskan, diarahkan langkahnya dengan mantap menuju rumah Ummul Mukminin lalu berkata kepadanya, “Anda telah mengingatkan saya perkataan kekasih kita yang tak pernah saya lupakan. Dengan ini saya berharap dengan sangat anda menjadi saksi bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya saya persembahkan di jalan Allah Azza wa jalla..!”

Maka dibagikannyalah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai perbuatan baik yang maha besar. Peristiwa yang satu ini cukuplah untuk menggambarkan kesempurnaan iman shahabat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam, Abdurrahman bin Auf ra. Dialah pengusaha yang berhasil, keberhasilan yang paling besar dan sempurna. Dialah milyuner yang berhasil dunia akhirat, kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah..! Dialah mukmin yang bijaksana, yang tak sudi kehilangan syurga akhiratnya hanya karena dunia yang sedikit, tak rela tertinggal dari kafilah iman bersama rasulullah salallahu alaihi wa sallam hanya karena kesibukan duniawi. Itulah milyuner kita Abdurrahman bin Auf ra.

Beliau termasuk shahabat ke-delapan yang masuk islam sejak fajar Nur Illahi baru menyingsing. Hingga pada suatu hari, ketika hidangan istimewa untuk berbuka dihadapkan kepadanya, tiba-tiba ia menangis dengan deraian air mata sambil berkata :
“Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah. Jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka kepalanya. Begitupun dengan Hamzah, ia pun gugur sebagai syahid, dan disaat akan dikuburkan, hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami…!”

Jumat, 29 Januari 2010

Hormatilah Ibumu SURAT IBU KEPADA ANAK DURHAKA (terjemahan)



Posting ini diambil dari buku terjemahan yaitu berupaya mengungkapkan curahan hati seorang Ibu dalam sepucuk surat yang beliau tujukan untuk anaknya yang sudah berangkat dewasa, dalam sepucuk surat tersebut tergambar begitu besarnya kasih dan sayang seorang ibu untuk anaknya dan begitu besar harapannya agar sang anak berada dalam kebaikan dalam setiap keadaan,hal ini bisa menggugah dan mengingatkan kita akan jasa besar Ibu-ibu kita dalam mendidik dan membesarkan kita.semoga bisa menjadi bahan renungan buat kita semua dan ada banyak ibroh yang kita dapatkan dan bisa menjadi bahan muhasabah khususnya buat saya pribadi dan umummya buat pembaca sekalian.. selamat menyimak dan harap dibaca sampai tuntas ya...

Wahai Anakku!
Inilah surat dari ibumu yang lemah, yang ditulis dengan penuh rasa malu setelah lama mengalami keraguan dan kebimbangan. Ibu pegang penanya berkali-kali lantas terhenti, dan ibu letakkan lagi pena itu karena air mata berlinang berkali-kali yang disusul dengan rintihan hati.

Wahai Anakku!
Sesudah perjalanan waktu yang panjang, ibu rasa engkau sudah dewasa dan memiliki akal sempurna maupun jiwa yang matang. Sedangkan ibu punya hak atas dirimu, maka bacalah sepucuk surat ini; dan jika tidak berkenan robek-robeklah sebagaimana engkau telah merobek-robek hati ibu.

Wahai Anakku!
Dua puluh lima tahun yang lalu adalah hari yang begitu membahagiakan hidup ibu. Ketika dokter memberitahu ibu, ibu sedang mengandung. Semua ibu tentu mengetahui makna ungkapan itu, yakni terhimpunnya kebahagiaan dan kegembiraan, serta awal perjuangan seiring dengan adanya berbagai perubahan fisik maupun psikis. Sesudah berita gembira itu ibu peroleh, dengan senang hati, ibu mengandungmu selama sembilan bulan.

Ibu berdiri, tidur, makan dan bernafas dengan susah payah. Namun itu semua tidak menyebabkan surutnya cinta ibu padamu dan kebahagiaan ibu menyambut kehadiranmu. Bahkan rasa cinta dan kerinduan ibu padamu tumbuh subur dan berkembang hari demi hari. Ibu mengandungmu dalam kondisi yang lemah dan bertambah lemah, payah dan bertambah payah. Ibu sangat bahagia meski bobotmu semakin berat, padahal kehamilan itu sangat berat bagi ibu.

Itulah perjuangan yang akan disusul dengan cahaya fajar kebahagiaan setelah berlalunya malam panjang, yang membuat ibu tidak bisa tidur dan kelopak mata ibu tak bisa terpejam. Ibu merasakan derita yang sangat, rasa takut dan cemas yang tak bisa dilukiskan dengan pena dan tak sanggup diungkapkan dengan retorika lisan. Ibu telah berkali-kali melihat kematian dengan mata kepala ibu sendiri, sehingga akhirnya engkau lahir ke dunia ini. Air mata tangismu yang bercampur dengan air mata kegembiraan ibu telah menghapus seluruh derita dan luka yang ibu rasakan.

Wahai Anakku!
Telah berlalu tahun demi tahun dari usiamu, dan dirimu selalu ibu bawa dalam hati ibu. Ibu memandikanmu dengan kedua tangan ibu. Pangkuan ibu sebagai bantalmu. Dada ibu sebagai makananmu. Ibu berjaga semalaman agar engkau bisa tidur. Ibu susuri siang hari dengan keletihan demi kebahagiaanmu. Dambaan ibu tiap hari adalah melihatmu tersenyum. Dan idaman ibu setiap saat adalah engkau meminta sesuatu yang ibu sanggup lakukan untukmu. Itulah puncak kebahagiaan ibu.

Itulah hari-hari dan malam yang ibu lalui sebagai pelayan yang tak pernah menyia-nyiakanmu sedikit pun. Sebagai wanita yang menyusuimu tiada henti, dan sebagai pekerja yang tak pernah putus hingga engkau tumbuh dan menjadi seorang remaja. Dan mulailah nampak tanda-tanda kedewasaanmu. Ketika itu pula, ibu kesana kemari mencarikan calon istri yang kau inginkan. Lalu tibalah saat pernikahanmu. Denyut jantung ibu terasa berhenti dan air mata ibu deras bercucuran karena gembira melihat hidup barumu dan karena sedih berpisah denganmu.

Saat-saat yang begitu berat telah lewat. Namun engkau seolah bukan lagi anak ibu, seperti yang ibu kenal selama ini. Sungguh engkau telah mengabaikan diri ibu dan tidak mempedulikan hak-hak ibu. Hari-hari berlalu dan ibu tidak lagi melihatmu dan tidak pula mendengar suaramu. Engkau masa bodoh kepada ibu yang selama ini menjadi pelayan yang mengurusimu.

Wahai Anakku!
Ibu tidak meminta apa pun selain posisikanlah diri ibu ini seperti kawan-kawanmu yang terdekat denganmu. Jadikanlah ibu sebagai salah satu terminal hidupmu sehari-hari, sehingga ibu dapat melihatmu meskipun sekejap.

Wahai Anakku!
Punggung ibu telah bongkok. Anggota tubuh ibu telah gemetaran. Beragam penyakit telah membuat ibu semakin ringkih. Rasa sakit senantiasa mendera ibu. Ibu sudah susah untuk berdiri maupun duduk, namun hati ibu masih sayang padamu.

Andaikan ada seseorang yang memuliakanmu sehari, tentu engkau akan memuji kebaikannya dan keelokan budinya. Padahal, ibumu ini telah benar-benar berbuat baik kepadamu, namun engkau tak melihatnya dan tak mau membalas kebaikannya. Ibumu telah menjadi pelayanmu dan telah mengurusmu bertahun-tahun. Lantas manakah balas budi dan hak ibu yang harus engkau tunaikan? Sekeras itukah hatimu? Apakah hari-hari sibukmu telah menyita seluruh waktumu?

Wahai Anakku!
Ibu merasakan kebahagiaan dan kegembiraan bertambah saat melihatmu hidup bahagia, karena engkau adalah buah hati ibu. Apa salah ibu sehingga engkau memusuhi ibu, tak suka melihat ibu, dan engkau merasa berat untuk mengunjungi ibu? Apakah ibu pernah berbuat salah padamu atau pelayanan ibu kurang memuaskanmu?

Jadikanlah ibu seperti pelayan-pelayanmu yang engkau beri upah. Curahkanlah setitik kasih sayangmu. Renungkanlah jasa ibu dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah amat menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Wahai Anakku!
Ibu sangat berharap bisa bersua denganmu. Ibu tak ingin apapun selain itu. Biarkanlah ibu melihat muramnya wajahmu dan episode-episode kemarahanmu.

Wahai Anakku!
Sisakan peluang di hatimu untuk berlembut-lembut dengan seorang wanita renta, yang diliputi kerinduan dan dirundung kesedihan ini. Yang menjadikan kedukaan sebagai makanannya dan kesedihan sebagai selimutnya. Engkau cucurkan air matanya. Engkau membuat sedih hatinya dan engkau memutuskan hubungan dengannya.

Ibu tidak mengeluhkan kepedihan dan kesedihan ibu kehadirat-Nya, karena jika ibu adukan perkara ini ke atas awan dan ke pintu gerbang langit sana, ibu khawatir hukuman akan menimpamu, dan musibah akan terjadi dalam rumah tanggamu, lantaran kedurhakaanmu. Karena ibu teringat peringatan junjungan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Maukah kalian aku sampaikan tentang dosa yang terbesar?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengucapkannya tiga kali. Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Bukhari).

“Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.” (HR. Ahmad).

“Tiga golongan orang yang tidak akan dilihat (dengan pandangan rahmat) oleh Allah pada hari kiamat; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, orang yang suka minum minuman keras, orang yang suka mengungkit pemberiannya.” (HR. Nasaai dan dinyatakan shahih oleh Albani).
“Terlaknat orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.” (HR. Hakim dan Thobrani serta dinyatakan shahih oleh Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib, 2/334).

Tidak, ibu tidak menginginkan itu. Engkau tetap menjadi buah hati dan hiasan dunia ibu.

Camkanlah wahai Anakku!
Ketuaan mulai nampak dalam belahan rambutmu. Tahun demi tahun akan berlalu, dan engkau akan menjadi tua renta, sedangkan setiap perbuatan pasti akan dibalas setimpal. Engkau akan menulis surat kepada setiap anak-anakmu dengan cucuran air mata, sebagaimana yang ibu tulis untukmu. Dan di sisi Allah, akan bertemu orang-orang yang berselisih, hai Anakku. Maka bertakwalah engkau kepada Allah terhadap ibumu. Usaplah air matanya dan hiburlah agar kesedihannya sirna.

Robek-robeklah surat ini setelah engkau membacanya. Namun ketahuilah, siapa saja yang beramal shaleh, maka keshalehan itu buat dirinya sendiri, dan siapa yang berbuat jahat, maka balasan buruk bakal menimpanya.

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa berbuat jahat, maka (dosanya) menjadi tanggungannya sendiri. Dan Rabbmu sekali-kali tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshilat: 46).

Bahan rujukan: Qashash Mu’atstsirah fi Birr wa ‘Uquqil Walidain (terjemahan) karya Fathurrahman Muhammad Jamil, dan lain-lain. (Al Fikrah)

Kamis, 28 Januari 2010

HARUSKAH KITA MENGEJAR NYA?


Apabila musim pemilu/pilkada telah tiba, banyak sekali tokoh dari berbagai elemen masyarakat berminat dan berambisi tuk jadi pejabat baik sebagai presiden, wakil rakyat, gubernur, walikota, bupati, camat, lurah hingga ketua rt di lingkungan tempat kita tinggal, semua berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dan yang paling tepat untuk ditawarkan ke pemilih.

Berbagai cara dilakukan untuk menarik simpati pemilih disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing mulai dari renovasi berbagai sarana rakyat misalnya sarana olah raga, sarana ibadah, dan kegiatan sosial mulia lainnya.

Namun sayang, musim penuh kebaikan itu hanya sesaat saja, setelah lewat musim tersebut, lewat pula semua kebaikan-kebaikan tersebut, semua masarakat kembali ke posisi masing-masing.

Ditengah hiruk pikuknya musim kampanye dengan segala atributnya guna menarik simpati pemilih, ada yang tulus memberikan semua bantuan dan kebaikan-kebaikannya namun tak sedikit pula ada “udang di balik batu” he.. sayang sekali amal yang bagus tidak diiringi dengan niat yang tulus nan lurus, semua hanya untuk memikat simpati pemilih saja,,

Hal ini membuat bertanya-tanya, kenapa pada semangat mengejar dan memburu jabatan dunia? Padahal kekasih Allah Shallallahu Alaihi Wa Sallam telah bersabda : "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan (jabatan) Karena se¬sungguhnya jika engkau diberi kepe¬mimpinan karena permintaanmu maka engkau akan diserahkan kepadanya (tidak ditolong oleh Allah). Jika engkau diberi tanpa meminta maka engkau akan dibantu melaksanakannya". (HR. Bukhary dan Muslim).

Sebetulnya ada apa gerangan dibalik jabatan tersebut? Apakah menganggap jabatan sebagai lahan basah yang menjanjikan keuntungan materi? Apakah berfikir dengan mengemban jabatan, dapat leluasa menggunakan harta umat untuk kepentingan pribadi dan keluarga? Jika itu yang terlintas da¬lam benak pemburu jabatan, sungguh menyesal ibu mengandung. Manusia modern yang tak pernah memahami hakikat amanah dan untuk apa kita diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Mampukah kita menjadikan Umar bin Khattab radhiallahu `anhu sebagai panutan? Memikul sekarung gandum seorang diri, ditengah malam yang senyap sunyi, hanya karena takut ditanya Ilahi, ketika satu keluarga janda miskin dan anak-anaknya sedang kelaparan. Dengan penuh tanggung jawab dan rasa takut pada Allah Subhanahu wa Ta'ala beliau pernah berucap; "Seandainya ada seekor kambing di Syam yang tergelincir hingga jatuh ke jurang, niscaya aku akan ditanya pada hari kiamat kelak kenapa tidak engkau perbaiki jalan tersebut, wahai Umar?"

Sungguh menjadi sebuah prototype pemimpin yang luar biasa yang hendaknya dijadikan teladan buat kita semua, bukan sebaliknya,, pejabat yang tiap hari melintas di jalan yang berlubang menganga sama sekali di biarkan begitu saja, entah apa alasannya, bahkan tak sedikit masyarakat yang melihat jalan yang berlubang dan banyak kubangan air, sebagai bentuk kekesalannya tak sedikit yang menanam pohon pisang di jalan yang rusak tersebut..he..

Kekasih Allah Shallallahu `Alaihi wa Sallam pemah berpesan "Demi Allah, tidaklah seseorang dari kalian mengam¬bil sesuatu yang bukan haknya kecuali ia akan datang menghadap Allah sambil membawa apa yang diambilnya itu pada hari kiamat". (HR. Bukhary dan Muslim)

Takutlah kepada Allah. Waspadalah terhadap fitnah dunia, yang terlihat begitu mempesona, dipelupuk mata hamba dunia, yang sedang terlena di dunia fana. Padahal ajal diujung sana, menanti kita dengan seksama. Dan itu Pasti

Selasa, 26 Januari 2010

Renungan Agar Menghormati Ibu



Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh..

Semoga Video ini menjadi renungan untuk kita semua agar senantiasa menghormati ibu yang mengandung kita selama 9 bulan.

Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh dua syeikh hadits: Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw dan bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku pergauli?" Beliau menjawab, "Ibumu! Ia bertanya lagi, "Lalu siapa?" Rasul menjawab lagi, "Ibumu!" Ia balik bertanya, "Siapa lagi?" Rasul kembali menjawab, "Ibumu!" Ia kembali bertanya, "Lalu siapa lagi?" Beliau menjawab, "Bapakmu!" (Dikeluarkan oleh Asy-Syaikhani (Bukhari-Muslim).

Ibu. Sebuah kata yang sangat menggetarkan hati. Adakah orang yang paling dekat dari seseorang (setelah Allah) dari seorang ibu? Tidak ada! Seorang ibu adalah pesona kehidupan. Ia adalah lambang cinta abadi, pengorbanan yang hakiki dan pribadi utusan Ilahi di atas bumi-Nya. Ibu adalah wakil Allah di muka bumi. Meskipun demikian, bukan berarti seseorang harus melupakan ayahnya. Karena ayah dan ibu memiliki satu derajat dalam Al-Qur'an. Mereka berdua laksana "dua sisi mata uang yang absurd untuk dipisahkan. Keridhaan mereka merupakan keridhaan Allah. Dan murka mereka merupakan murka-Nya. Dari Abdullah ibn 'Amru ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda, "Keridhaan Tuhan berada pada keridhaan kedua orang tua, dan kemurkaan Tuhan berada pada kemurkaan orang tua." (HR Al-Turmudzi).

Marilah kita tadabburi penjelasan Allah dalam kitab-Nya, "Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan hendaklah rendahkan dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (dahulu)" (Qs. Al-Isra' [17]: 23-24).

Ibu adalah orang yang paling susah memelihara anaknya: mengandung, menyusui dan menyapihnya. Ternyata, seorang anak itu sejak dalam kandungan saja sudah "terbiasa"
membuat susah ibunya. Maka, sangat ironis jika sudah dewasa dan sudah kaya malah "lupa kacang akan kulitnya." Alangkah durhakanya jika seorang anak tidak rela "tegel" dan lantai rumahnya disentuh oleh telapak kaki ibunya yang bersih dan suci. Telapak kaki yang menyimpan "surga Allah." Dari Thalhah ibn Mu'awiyah al-Sulma ra. ia berkata, "Aku datang kepada Rasulullah dan berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah, aku ingin berjihad di jalan Allah. Beliau bertanya, "Ibumu masih hidup? Ia menjawab, "Ia! Beliau berkata, "Taatlah kepadanya, di kakinya terdapat surga" (HR Al-Thabrani.

Tidak jarang memang, seorang anak malah membalas "air susu dengan air tuba." Padahal, sebesar apapun harta yang dikeluarkan oleh seorang anak, tidak akan pernah bisa untuk mengembalikan ASI yang mendarah daging dalam tubuhnya. ASI lebih berharga daripada harta: kekayaan, kemewahan dan glamor duniawi. Kiranya tidak ada yang mampu untuk mengkalkulasikan harga ASI, karena sangat mahal harganya.



Berbakti kepada ibu melebihi segalanya. Bahkan pengabdian seorang anak kepada ibu (juga bapaknya) menggugurkan kewajiban untuk berjihad. Dari Abdullah ibn 'Amru ibn 'Ash ra. ia berkata, "Seorang laki-laki datang menghadap Rasul saw dan berkata, "Aku membaiatmu untuk berhijrah dan jihad untuk memperoleh pahala dari Allah!" Rasul saw kemudian bertanya kepadanya, "Apakah salah satu kedua orang tuamu ada yang masih hidup?" Ia menjawab, "Ya, bahkan keduanya masih hidup!" Rasul balik bertanya, "Dan engkau ingin mendapat pahala dari Allah?" Ia menjawab, "Ya!" Rasul lalu berkata kepadanya, "Pulanglah kepada kedua orang tuamu dan berbakti kepada mereka" (Muttafaq 'Alaihi).

Oleh karenya, salah satu amalan yang sangat dicintai oleh Allah adalah berbakti kepada kedua orang tua. Dari Ibnu Mas'ud ra. ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah saw, "Pekerjaan apa yang paling dicintai oleh Allah?" Beliau menjawab, "Shalat pada waktunya! Aku bertanya lagi, "Lalu apa?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua! Aku bertanya lagi, "Lalu apa? Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah!" (HR Bukhari dan Muslim).

Sungguh, berbuat jahat kepada ibu hanya akan mengantarkan pelakunya ke dalam neraka.

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, "Rasulullah saw bersabda, "Celakalah, celakalah, celakalah! Beliau kemudian ditanya, "Siapa yang celaka wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "Siapa yang mendapati salah satu dari orang tuanya atau keduanya, namun ia tidak berusaha untuk memasukkannya ke dalam surga" (HR Ahmad).

Tentunya, keberadaan sang ibu merupakan kesempatan emas untuk meperoleh ridhanya dan ridha Allah. Karena kalau sudah tiada, kesempatan menjadi berkurang, karena sang anak paling hanya bisa berdoa dan bersedekah untuknya. Maka yang masih memiliki ibu, pergunakan kesempatan itu. Maka berbaktilah kepada ibumu, ibumu, ibumu, selagi kesempatan terbuka lebar.

Senin, 25 Januari 2010

Jati Diri Muslim



Suatu hari, Rasulullah shalallahu`alaihi wa sallam pulang menuju isterinya setelah pulang dari kebiasaannya menyendiri di gua hira. Beliau pulang dalam keadaan tubuh bermandikan keringat, menggigil. Padahal hari sedang terik. Seraya berkata kepada isterinya; "Selimuti aku..., selimuti aku...!" Khadijah radiyallahu'anha sang kekasih tercinta menjawab; "Demi Allah, apa yang menyebabkanmu seperti ini? Sungguh Allah tidak akan pernah menyia-nyiakanmu. Engkau adalah orang yang suka menolong anak yatim, meringankan beban orang, menyambungkan tali silaturrahim, menjamu para tamu, dan memberi orang-orang miskin". Setelah mendengar penuturan sang isteri tercinta, hati Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi tentram. Sungguh sebuah motivasi yang sangat indah dari seorang isteri, tatkala suami dilanda kegundahan. Khadijah yang mulia dengan cerdik menghiburnya melalui kelebihan serta perangai yang dimiliki suami tercintanya. Khadijah tahu, bila suaminya berbeda dengan laki-laki lain di zamannya.

Zaman dimana nilai-nilai kemanusiaan tidak diperhatikan, norma-norma kehidupan ditiadakan. Zaman dimana seorang ayah membunuh anak perempuannya, seorang ibu atau isteri boleh diwariskan kepada kerabat suaminya, riba menjadi makanan sehari-hari, dan khamar menjadi minu¬mannya. Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam muda tumbuh berkembang menjadi dewasa dengan membawa perangai dan tabiat yang jauh berbeda dari kaumnya.

Kerusakan moral dan bobroknya tabiat orang-orang yang ada disekitarnya itu, menjadi salah satu misi kerasulannya. Allah Ta'ala befirman:
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (QS. A1 Jumu'ah: 2)



Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutus untuk membersihkan unsur-unsur jahiliyah, yang penuh dengan kotoran syirik dan penghancur tauhid. Juga buruknya perilaku masyarakat yang merusak tatanan hidup kemanusiaan. Tugas mulia ini tentunya harus diemban oleh sosok yang benar-benar sempurna dan paripurna. Maka, Allah Ta'ala telah mempersiapkannya jauh sebelum beliau diutus untuk men¬jadi seorang Rasul. Sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar dapat memberikan satu teladan mulia melalui perangai yang baik terhadap kaumnya. Allah Ta'ala bahkan meyakinkan kaum Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan firman-Nya: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung" (QS. A1 Qalam: 4).

Perangai dan tabiat ini pula yang menjadikan dakwah beliau menyebar, meluas dan cepat diterima oleh kaumnya. Sedari mula, beliau sangat jauh dari sifat-sifat yang buruk. Beliau tidak pernah berdusta, berkhianat, menipu, mencuri, memakan harta yang haram, dan lainnya. Maka sungguh tepat bila gelar al Amin (terpercaya) diberikan Oleh orang-orang Quraisy kepadanya. Risalah yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepadanya, menjadi bagian yang utuh dan membentuk sosok dirinya. Seperti perkataan 'Aisyah radiyallahu anha; "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an". Perangai, tabiat, watak, karakter, sifat dan norma, semua itu dikenal dalam islam dengan istilah akhlak. Akhlak ini pula yang sekarang ini sepertinya mulai terkikis dan beralih kembali ke masaa Jahiliyah.

Indonesia sebuah negara dengan mayoritas masyarakat yang menganut agama Islam, ini adalah realitas yang tidak terbantahkan dan patut disyukuri. Namun sedikit sekali kita dapatkan akhlak yang Islami dalam diri masyarakatnya. Yang ada hanyalah simbol keislaman yang berakar dari kebudayaan. Semua ini dikarenakan kultur beragama masyarakat kita, tidak dan belum terbentuk menjadi individu-individu yang kuat. Padahal untuk ciptakan sosok muslim yang berakhlak, dibutuhkan kesadaran beragama yang tinggi, yang tidak sekedar jargon semata tapi penerapan tuntunan syariat Allah pada kehidupan muslim sehari-hari. Hakikat tabiat atau akhlak sendiri adalah; "Gambaran kejiwaan manusia yang merupakan sifat dan karakter khusus baginya, tampak dalam perilaku kesehariannya".

Kondisi seperti memungkinkan adanya akhlak yang baik dan yang buruk. Allah Ta'ala berfirman; "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan". (QS. Asy Syamsy: 8).

Ayat ini menggambarkan, bahwa tidak hanya tabiat baik yang Allah Ta'ala berikan, akan tetapi perangai yang buruk pun sudah melekat erat dalam ini, semenjak awal penciptaannya. Artinya, sifat-sifat dasar tersebut sangat mungkin untuk berubah kemudian salah satunya mendominasi atau mengalahkan yang lainnya, hal ini sangat dipengaruhi oleh masukan dan dorongan dari luar, baik pendidikan ataupun lingkungan.

Seperti halnya orang-orang Arab Jahiliyah. Bukan berarti mereka tidak memiliki sifat dan akhlak yang baik. Mereka dikenal sebagai kaum yang suka memegang janji dan amanah, pemberani dan suka menghormati tamu. Tapi dikarenakan kultur masyarakatnya pada saat itu jauh dari kebenaran, maka sifat dan tabiat yang baik tersebut terhapuskan. Oleh karenanya Rasulullah shalallahu`alaihi wa sallam bersabda; "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak" (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqy)



Akhlak yang baik akan menjadikan sosok seorang muslim menjadi indah dan rupawan, baik fisik maupun ruhaniahnya. Keindahan dan kemurnian akhlak akan terpancar melalui sikap hidup dan wajahnya.

Kita akan temukan sosok-sosok yang secara penciptaannya kurang sempurna, namun akhlaknya mampu menutupi kekurangannya. Bukankah Bilal seorang budak hitam? Bukankah Ibnu Mas'ud seorang yang memiliki betis kecil"? Bukankah Qotadah (murid Ibnu Abbas) adalah seorang yang buta?

Mereka, orang-orang kafir boleh bangga dengan Beauty and The Beast¬nya. Berapa banyak orang yang ingin menampilkan keelokan, kecantikan dan keindahan tubuhnya dengan pergi ke salon dan tempat-tempat perawatan ke¬cantikan. Namun seorang muslim, cukuplah baginya cerminan akhlak para salafushalih yang mulia mengisi relung-relung lubuk hati kita. Seorang muslim diajarkan oleh kekasihnya yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam untuk selalu bermunajat memohon dengan ketundukkan dan kekhusyuan kepada Tuhan Semesta Alam, seraya berkata;

"Ya Allah sebagaimana Engkau baguskan penciptaanku, maka baguskanlah Akhlakku"

Minggu, 24 Januari 2010

Jadikan Al-Qur'an Sebagai Shahabat



Salah satu karunia Allah Ta'ala terbesar yang dilimpahkan adalah Kalam-Nya yang Terkandung didalamnya petunjuk menuju jalan yang lurus dan benar. Dengannya Allah memandu hamba-hambanya menuju keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Seorang Nashrani pun ketika mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hati yang jernih maka hidayah Allah pun masuk kedalam relung hatinya tanpa bisa dibendung.

Tak hanya berhenti disitu, ia pun mencucurkan air mata demi mendengarkan kalam Ilahi yang mulia ini. Raja Najasy adalah contoh yang indah untuk membenarkan klaim tersebut. Ketika beliau mendengarkan Al-Qur'an yang dibacakan oleh Ja'far bin Abi Thalib radiyallahu `anhu.

Tidak hanya manusia, jin pun terkesima tatkala mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an yang dilantunkan oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam. Mereka terdiam mendengarkan dengan penuh perhatian. Begitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai membacakannya, spontan mereka langsung beriman dan menyeru kaumnya untuk beriman. Allah Ta'ala berfirman;

"Dan (ingatlah) ketika Kami hadap¬kan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan AI-Qur'an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: "Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan sesudah Musa, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. (QS. A1 Ahqaaf:30).




Al-Qur'an adalah nikmat Allah yang sangat besar. Kitab yang sarat de¬ngan keberkahan. Akan tetapi nikmat dan barokah itu tidak akan dapat kita rasakan kecuali jika kita mau membaca, mempelajari dan merenungkannya.

Sungguh merupakan suatu kerugian yang sangat besar jika hari demi hari kita lewatkan begitu saja tanpa dihiasi oleh bacaan Al-Qur’an. Bagaimana mungkin seorang muslim tidak tertarik untuk membacanya, padahal didalamnya terdapat berbagai informasi yang sangat ia butuhkan. Informasi dan petunjuk penting yang tidak akan bisa didapat daripada selain Al-Qur’an.

Ketika kita hidup di zaman yang penuh fitnah seperti sekarang ini, maka kebutuhan terhadap Al-Quran menjadi lebih besar lagi. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata : “Sesungguhnya nanti akan terjadi berbagai fitnah (cobaan)”. Maka ditanyakan kepadanya: “Lalu apakah jalan keluarnya?’. Beliau menjawab; “Kitabullah (Al-Qur’an) didalamnya terdapat berita (riwayat) orang-orang sebelum kalian, khabar-khabar (peristiwa) yang terjadi setelah kalian dan hokum-hukum (yang mengatur) urusan kalian. Ia adalah pemisah antara yang hak dan yang bathil. Sekali-kali bukanlah ia senda gurau, siapa saja orang sombong yang meninggalkannya pasti akan dibinasakan oleh Allah. Siapa yang mencari petunjuk selain padanya, maka ia akan disesatkan oleh Allah. Ia adalah tali Allah yang kokoh, peringatan yang bijak dan ia adalah jalan yang lurus. Dengannya hawa nafsu tidak akan menyimpang.

Dengannya lisan tidak akan rancu(keliru). Keajaiban-keajaiban tidak akan pernah habis, para ulama tidak akan pernah kenyang darinya. Barangsiapa yang berbicara dengan berhujjah dengannya maka ia akan benar. Barangsiapa yang mengamalkannya maka ia akan memperoleh pahala. Barangsiapa yang berhukum dengannya maka ia akan adil. Barangsiapa yang menyeru kepadanya maka ia akan terbimbing ke jalan yang lurus”.

Al-Quran bagaikan air yang menyirami tanaman iman. Iman yang selalu dirawat dan disirami dengan bacaan al-Quran, niscaya akan tumbuh subur.

Namun sebaliknya, hati yang jauh dari bacaan Al-Quran, niscaya akan gersang. Tanaman iman menjadi layu. Tidak ada musibah yang lebih besar daripada hati yang beku dan iman yang layu. Sungguh itu merupakan musibah besar bagi agama seorang hamba Allah. Rasulullah senantiasa berdoa :

“Dan janganlah Engkau jadikan musibah kami menimpa pada agama kami” (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).

Sudahkah kita menjadikan membaca Al-Quran sebagai sebuah kebutuhan? Tahukah anda bahwa Al-Qur’an adalah sekumpulan surat yang dikirim oleh Tuhan penguasa sekalian alam kepada kita sebagai hamba-hamba-Nya?



Seorang yang gemar membaca AL-Quran akan bercahaya hatinya, lapang dadanya, rahmat Allah melimpah kepadanya, dan setiap huruf yang dibacanya akan dibalas dengan sepuluh kali lipat pahala yang baik.

Tidakkah Rasulullah SAW telah berpesan :

“Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya” (HR. Muslim).

Jadikanlah Al-Quran sebagai sahabat kita, niscaya syafaatnya kan kita dapatkan.

Selasa, 19 Januari 2010

Hari Ini Milik Kita



Mengenang masa lalu untuk kemudian bersedih atas semua kega-galan yang pernah dialami merupakan tindakan sia-sia, membunuh semangat, memupus harapan dan mengubur masa depan.

Muslim yang berpikir cerdas akan melipat berkas-berkas masa lalu, ditutup rapat-rapat, lalu disimpan dalam `gudang lupa', diikat dengan tali yang kuat da¬lam `penjara' acuh buat selamanya, ka¬rena masa lalu telah berlalu. Kesedihan dan keresahan tak akan mampu mem¬perbaikinya kembali. Kegundahan tak akan mampu merubahnya menjadi te¬rang, karena memang ia sudah tiada.

Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di bawah payung gelap masa silam. Selamatkan diri kita dari bayangan masa silam. "Apakah kita ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya terbit, se orok bayi ke perut ibunya dan air mata ke dalam kelopaknya ?

Ingatlah, keterikatan kita dengan masa lalu, keresahan kita atas apa yang telah terjadi adalah tindakan yang sa¬ngat naif, ironis, memprihatinkan dan menakutkan. Membaca kembali lemba¬ran masa lalu hanya akan memupus masa depan, mengendurkan semangat, dan menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga. Al-Qur'an mengajarkan se¬tiap kondisi yang menerangkan suatu kaum dan apa saja yang telah mereka lakukan, Allah swt selalu mengatakan, "Itu adalah umat yang lalu." Begitulah, ketika suatu perkara habis, maka selesai pula urusannya. Dan tak ada gunanya mengurai kembali bangkai zaman dan memutar kembali roda sejarah.

Orang yang berusaha kembali ke masa lalu, tak ubahnya seperti menum¬buk tepung, menggergaji serbuk kayu. Orang tua-tua kita mengajarkan.

"Janganlah engkau mengeluarkan mayat-mayat itu dari kuburnya".

Adalah bencana besar, manakala kita rela mengabaikan masa depan hanya karena disibukkan oleh masa lalu. Itu, sama halnya dengan sibuk meratapi puing-puing yang telah lapuk. Padahal, betapapun seluruh manusia dan jin ber¬satu untuk mengembalikan semua hal yang telah berlalu, niscaya mereka tidak akan pernah mampu. Sebab yang de¬mikian itu mustahil, karena angin selalu berhembus ke depan, air selalu mengatir ke depan, setiap kafilah akan berjalan maju ke depan.

Maka itu, jangan pernah melawan sunnah kehidupan!

Jika kita berada di pagi hari, jang¬anlah menunggu sore tiba. Hari inilah yang akan kita jalani, bukan hari kema¬rin yang telah berlalu clan bukan esok hari yang belum tentu datang. Hari ya¬ng saat ini mataharinya menyinari kita clan siangnya menyapa, inilah hari kita.

Umur kita mungkin tinggal hari ini. Anggaplah masa hidup kita hanya hari ini. Seakan-akan kita dilahirkan pada hari ini dan akan mati hari ini. Dengan begitu, hidup kita tidak akan tercabik¬cabik diantara gumpalan keresahan, ke¬sedihan dan duka cita masa lalu, atau bayangan masa depan yang penuh ke¬tidakpastian bahkan acapkali mena¬kutkan.

Mari curahkan seluruh perhatian, kepedulian dan kerja keras untuk hari ini. Mari bertekad mempersembahkan kualitas shalat yang paling khusyu', bacaan Al-Qur'an yang penuh peng-hayatan, zikir dengan sepenuh hati. Keseimbangan dalam segala hal, keindahan dalam akhlak, ridho dengan semua yang Allah swt berikan, ber¬empati terhadap keadaan sekitar, perhatian terhadap kesehatan jiwa dan raga, serta berbuat baik terhadap sesama.

Sumber : (Dr. A’id Al-Qarny, La Tahzan).

Selasa, 12 Januari 2010

Laut Mati



Daerah terendah di dunia

Daerah laut mati (Dead Sea, Buhairah Luth) disebut sebagai titik terendah di bumi. Titik terendahnya mencapai 392 meter dibawah permukaan laut. Ada pula yang menyebutkan 420 meter. Begitu rendahnya. Laut Mati merupakan daerah yang asin. Namun, danau terasin didunia adalah danau Assal (Lake Assal) yang disebut juga dengan danau Djibouti yang terletak dibagian timur benua afrika. Laut mati merupakan merupakan danau terasin nomor dua di dunia setelah Lake Assal. Tingkat keasinan danau ini mencapai 30 persen atau sekitar 8,6 kali dari air laut biasa.

Karena sangat asin, tidak ada satupun mahluk yang dapat hidup di Laut Mati.

Semuanya akan mengkristal dan memutih terbungkus garam. Uniknya lagi, orang yang tidak bisa berenang sekalipun tak akan tenggelam bila berada di Laut Mati ini. Dia akan mengambang.

Keunikan lainnya dari Laut Mati adalah panjangnya. Danau laut mati ini memiliki daerah dengan panjang 67 kilometer (km) dan lebar 18 km daerah tersebut terletak di retakan lembah Jordan dan memiliki air yang bersumber di sungai Jordan.




Dalam sejarahnya Laut Mati ini terjadi saat Allah SWT menimpakan azab bagi kaum Luth AS yang suka melakukan perbuatan homoseksual (liwath) atau penyuka sesama jenis. Berkali-kali Nabi Luth memperingatkan mereka, namun, tetap saja mereka tak menuruti ajakan Nabi Luth AS. Akhirnya, Allah SWT menurunkan azab bagi kaum Nabi Luth yang berada di Sodom dan Gomorah itu.



Mariana Trench

Sementara itu daerah atau titik terdalam di dunia adalah Mariana Trench yang terletak di Samudera Atlantik. Di daerah barat Filipina. Kedalamannya mencapai 11 kilometer (11.000 meter). Kedalaman laut ini mampu menenggelamkan gunung tertinggi di dunia, yakni Gunung Everest di Himalaya. Ketinggian Gunung Everest mencapai8.800 meter.

Sumber : Islam Digest, Republika, Ahad, 10 Januari 2010.

Senin, 11 Januari 2010

Al-Quran, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi


Diantara puluhan bahkan ratusan juta umat islam diseluruh dunia, banyak yang masih bingung dalam membedakan antara Alquran, Hadis Qudsi, maupun hadis dari Nabi Muhammad SAW. Akibat tak paham dengan hal tersebut sering kali menimbulkan kekeliruan yang sangat mendasar dalam memahami Alquran dan Sunah Nabi SAW.

Sebagaimana disebutkan oleh Subhi As Shalih dalam Mahabits fi ‘Ulum al-Qur’an (membahas ilmu-ilmu Alquran. Alquran adalah kalamullah (firman Allah SWT) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat jibril secara mutawattir (bersambung) dan merupakan ibadah bagi yang membacanya.

Alquran adalah kitab suci umat islam yang didalamnya berisi berbagai macam petunjuk bagi umat manusia dalam mengarungi samudra kehidupan ini untuk menggapai kebahagiaan abdi di akhirat kelak.

Adapun hadis Nabi SAW adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah), maupun ketetapan atau persetujuan Rasulullah SAW (atsar).

Sementara itu menurut Ahmad Syarwat. Sebagaimana dikupit dari situs assunnah.or.id, hadis qudsi adalah hadis yang oleh Rasulullah SAW disandarkan kepada Allah SWT. Maksudnya, Rasulullah SAW meriwayatkan perkataan tersebut yang sesungguhnya perkataan itu berasal dari Allah SWT. Dalam hal ini, Rasulullah SAW menjadi perawinya. Dan, orang lain yang meriwayatkan hal tersebut dari Rasulullah SAW, tapi tetap periwayatannya dinisbatkan kepada Allah SWT. Sebab, itu adalah firman Allah SWT, hanya saja, Hadis Qudsi tidak termasuk dari bagian Alquran.

Salah satu hadis Qudsi yang terkenal adalah tentang persangkaan seorang hamba kepada Tuhannya. : “Dari Abu Huraira RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, Allah Taala berfirman; “Aku menurut sangkaan hambaku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku didalam dirinya, maka Akupun menyebutnya didalam diri-Ku. Dan, bila dia menyebut-Ku dikalangan orang banyak, Aku pun menyebutnya dikalangan orang banyak yang lebih baik dari itu.”

Dari ketiga hal tersebut diatas, maka dapatlah dibedakan bahwa, Alquran adalah kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan berpahala bagi orang yang membacanya. Dalam Alquran, Allah SWT menantang orang-orang kafir untuk untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Alquran.

Perbedaan lainnya, hadis Qudsi adalah kalam Allah SWT yang diriwayatkan oleh Nabi SAW secara ahad (sendiri) dan umumnya berupa kabar, karena itu kepastiannya masih berupa dugaan. Sedangkan, Alquran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan secara bersambung (mutawattir), sehingga kebenarannya mutlak, dan bukan atas dugaan.

Alquran dari Allah SWT, baik lafal maupun maknanya, sedangkan hadis Qudsi maknanya dari Allah SWT dan lafalnya dari Rasulullah SAW. Dan, adapun hadis Nabi SAW, adalah perkataan, perbuatan, persetujuan, atau ketetapan Nabi SAW dan sifat-sifat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW.

Hadis Qudsi itu maknanya dari Allah SWT dan disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasul sendiri. Dinisbahkannya hadis Qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, Bukan lafalnya. Sebab, bila hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah SWT, tidak ada perbedaan antara hadis Qudsi dan Alquran, baik dalam tata bahasa, gayanya, maupun kandungannya. Wallahu A’lam.

Sumber : Islam Digest, Republika, Ahad, 10 Januari 2010.

Minggu, 10 Januari 2010

Macam-Macam Hadis


Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan dua bagian utama, yaitu kuantitas dan kualitas perawinya. Klasifikasi berdasarkan kuantitas perawi ialah penggolongan hadis menurut banyak atau sedikitnya yang meriwayatkan hadis tersebut. Menurut klasifikasi ini, hadis terdiri atas hadis mutawatir dan ahad.

Hadis Mutawattir

Hadis Mutawattir hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang (biasanya banyak) dari awal sampai akhir sanad, dan orang-orang tersebut diyakini mustahil akan bersepakat untuk berbohong dalam meriwayatkannya. Karenanya, para ulama sepakat Hadis Mutawattir harus diamalkan.

Hadis Mutawattir itu sendiri terdiri atas tiga bagian, yaitu mutawattir ma’nawi (lafalnya banyak dan sama), mutawattir ma’nawi (lafalnya banyak dan semakna, tetapi tidak sama), dan mutawattir ma’nawi (merupakan perilaku yang sudah diamalkan oleh banyak orang dan diyakini berasal dari Nabi Muhammad SAW). Hadis Mutawattir bersifat pasti dan memiliki kesederajatan hamper sama dengan Alquran. Keberadaan Hadis Mutawattir amat sedikit dibandingkan dengan hadis ahad.

Hadis Ahad

Hadis Ahad terdiri atas tiga bagian, yaitu hadis masyhur, aziz dan gharib. Masyhur ialah hadis yang diriwayatkan paling tidak oleh tiga jalur rawi dan tidak kurang dari tiga. Namun, ada juga ulama yang membedakan masyhur dan ahad. Pandangan ini dianut oleh para ulama mazhab Hanafi. Menurut mereka, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi tidak sampai derajat hadis mutawattir.

Akan tetapi, kebanyakan ulama cenderung, memasukan hadis masyhur kedalam hadis ahad, jika diriwayatkan oleh dua jalur rawi, hadis itu disebut hadis aziz, sedangkan, apabila diriwayatkan oleh satu jalur saja, maka disebut hadis gharib atau fard,

Hadis Sahih, Hasan, dan Dlaif

Status hadis juga bisa diilai dari segi sanad. Pada klasifiksi ini, hadis dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sahih, hasan dan dlaif (lemah).

Hadis sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan ulama. Hadis sahih ini diriwayatkan oleh seseorang yang dipercaya, kuat hafalannya, dan jauh dari sifat tercela. Hadis sahih terdiri atas Shahih li-zatihi (sahih dengan sendirinya) dan shahih ghairu li-zatihi (sahih karena ada keterangan lain yang mendukungnya; seperti hadis hasan yang jumlahnya banyak).

Sementara itu hadis hasan artinya hadis baik, yang memenuhi persyaratan, akan tetapi diriwayatkan oleh seseorang yang tidak terlalu sempurna kekuatan hafalannya, seperti halnya hadis sahih, hadis hasan terdiri atas dua bagian yaitu hasan li-zatihi (dengan sendirinya) dan hasan ghairu li-zatihi(ada keterangan pendukung lain) yang didukung dengan adanya hadis yang tidak terlalu lemah menceritakan hal yang sama.

Sedangkan hadis dlaif ialah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahih atau hasan karena periwayatannya yang terputus atau karena perawinya tidak memenuhi persyaratan. Hadis dlaif tidak bisa dijadikan sumber hukum dan ketentuannya tidak boleh diamalkan.

Hadis dlaif ini dapat dilihat atas dua cara, yaitu bersambung atau tidaknya sanad dan tercelanya rawi, hadis dlaif yang dilihat dari bersambung atau tidaknya sanad meliputi hadis mursal, munqati’, mu’dal mudallas, mu’allaq, dan mu’allal. Adapun hadis dlaif yang disebabkan oleh tercelanya rawi ialah hadis maudlu’, matruk, munkar, mudraj, maqlub, mudtarib, musahhaf, muharraf, mubham, majhul, mastur, syadz, dan mukhtalit.

Hadis Maudlu

Selain itu dikenal pula Hadis Maudlu (palsu) yaitu sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukan merupakan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi SAW meskipun ada yang berpendapat bahwa Hadis Maudlu sudah ada sejak masa Nabi SAW. Namun jumhur (mayoritas) ahli hadis berpendapat bahwa Hadis Maudlu mulai terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, baik karena ketegasan atau karena kehati-hatian periwayatan hadis dimasa kekhalifahan sebelumnya maupun situasi politik dimasa Ali, dimana perbenturan berbagai kepentingan semakin meningkat.

Cirri-ciri Hadis Maudlu adalah matan hadis tidak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi SAW (2). Bertentangan dengan Alquran, akal dan kenyataan. (3) Rawinya dikenal sebagai pendusta. (4) Pengakuan sendiri dari pembuat hadis palsu tersebut. (5). Ada petunjuk bahwa diantara perawinya terdapat pendusta dan (6). Rawi menyangkal bahwa ia pernah memberikan riwayat kepada orang yang membuat hadis palsu tersebut.

Hadis Matruk

Hadis lemah lainnya adalah Matruk, yaitu hadis yang perawinya tertuduh berdusta atau suka berdusta dalam pembicaraannya atau menampilkan kefasikan dalam pembicaraan dan perbuatan atau memiliki amat banyak kesalahan serta kekeliruan dalam meriwayatkan hadis.

Hadis Marfu

Hadis Marfu adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW secara khusus, baik danadnya bersambung maupun tidak.

Sumber : Islam Digest, Republika, Ahad, 10 Januari 2010, B6, nidia/berbagai sumber ed: sya

Hadis, Penjelas Al-Quran


Syahruddin El-Fikri

Penulisan dan pembukuaan hadis mengalami puncaknya pada masa Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (99-102 H)

Hadis atau sunah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Quran pandangan ini tidak ada yang menyangsikan. Hadis menjadi penjelas atas ayat-ayat Alquran yang tak sepenuhnya dipahami oleh umat islam.

Alquran tidak hanya berisi ayat-ayat yang qath’I (jelas) tetapi banyak pula yang zhanni (samar) sehingga membutuhkan penjelasan yang terperinci.

Salahsatunya contohnya adalah shalat. Banyak ayat Alquran yang mengungkapkan perintah shalat. Namun, bangaimana shalat itu dilakukan? Hal itu tidak dijelaskan secara terperinci. Dari sini, Nabi Muhammad SAW bagaimana shalat harus dikerjakan ”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari).

Begitu juga dengan perintah berhaji. Rasulullah SAW menjelaskan “Ambilah (kerjakanlah) haji itu dari manasik yang aku kerjakan.”

Dari sini tampak bahwa kedudukan hadis menjadi penjelas terhadap kandungan ayat-ayat Alquran. Karena itu para ulama sepakat untuk menempatkannya sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.

Dalam perkembangannya kemudian, sepeninggal Rasulullah SAW tak ada lagi tokoh sentral yang bisa menjelaskan kandungan ayat Alquran secara mendetail. Namun demikian, Rasulullah SAW telah meninggalkan “Warisan berharga bagi umatnya” yakni berupa perkataan, perbuatan atapun ketetapan hukum yang pernah dilakukan semasa hidupnya, termasuk sifat-sifatnya.

Saat wukuf di Padang Arafah 9 Zulhijjah tahun 10 H Nabi SAW bersabda” Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara dan tidak akan tersesat kalian selamanya bila berpegang teguh kepada keduanya, yakni Kitabullah (Alquran) dan Sunah Rasulullah.”

Hadis diatas menjelaskan betapa pentingnya kedudukan hadis sebagai pedoman bagi umat islam bila menemukan hal-hal yang belum jelas dalam Alquran.

Seiring perjalanan waktu, perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun akhlak Rasulullah SAW diterjemahkan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda pula dari berbagai generasi.

Akibatnya munculah ungkapan-ungkapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW kendati hal itu tidak diungkapkan oleh Rasulullah SAW. Penghulu dari segala Nabi ini pernah mengecam orang-orang yang suka menisbatkan sesuatu kepada dirinya, sementara hal itu tidak pernah dikerjakannya. “Barangsiapa yang berdusta atas nama diriku, sesungguhnya tempatnya adalah neraka”

Namun, tetap saja banyak orang yang membuat ungkapan-ungkapan yang disandarkan pada diri Nabi SAW. Akibatnya muncullah hadis-hadis palsu dan hadis yang memiliki kualitas rendah.

KUALITAS HADIS
Rendahnya kualitas hadis ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan ya ng dimiliki, berkaitan dengan cara menukilkan atau meriwayatkan hadis Nabi SAW. Baik dari sisi perawinya (orang yang meriwayatkan hadis) maupun makna yang ter kandung dari hadis tersebut. Karena itu, para ulama, mengklasifikasikan hadis itu kedalam beberapa kelompok, ada hadis yang disebut dengan hadis mutawatir, ahad, sahih, hasan, dhaif, maudhu, matruk, marfu dan sebagainya.

Cara untuk mengetahui kualitas hadis itu dikenal dengan ilmu musthalah al-hadits yaitu ilmu yang mempelajari periwayatan hadis dan kualitas dari hadis yang diriwayatkan.

Dalam ilmu ini dikenal dengan dua istilah yaitu ilmu riwayah dan ilmu dirayah . Ilmu riwayah hadis adalah ilmu yang mempelajari cara penukilan, pemeliharaan dan periwayatan sebuah hadis yang berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir) maupun sifat-sifatnya. Dengan mempelajari ilmu ini dapat diketahui asal hadis tersebut melalui periwayatan termasuk ketersambungan dengan Rasulullah SAW.

Sedangkan ilmu dirayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui keadaan sanad, matan baik sahih, hasan, dhaif, rafa, mauquf maupun ‘uluw; turunannya; cara menerima dan menyampaikan hadis; sifat-sifat hadis; syarat-syarat perawi; dan yang serupa dengan itu.

Lalu, apa yang dimaksud dengan hadis Qudsi? Subhi As-Shalih dalam Ulum al-Hadits wa Musthaluhu menjelaskan, Hadis Qudsi adalah kalam (firman) Allah SWT yang diungkapkan oleh Nabi SAW yang didapat dari ilham atau mimpi, namun maknanya langsung dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi SAW.

Sumber : Republika, Ahad, 10 Januari 2010, B1