Murottal Al-Quran

Minggu, 10 Januari 2010

Hadis, Penjelas Al-Quran


Syahruddin El-Fikri

Penulisan dan pembukuaan hadis mengalami puncaknya pada masa Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (99-102 H)

Hadis atau sunah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Quran pandangan ini tidak ada yang menyangsikan. Hadis menjadi penjelas atas ayat-ayat Alquran yang tak sepenuhnya dipahami oleh umat islam.

Alquran tidak hanya berisi ayat-ayat yang qath’I (jelas) tetapi banyak pula yang zhanni (samar) sehingga membutuhkan penjelasan yang terperinci.

Salahsatunya contohnya adalah shalat. Banyak ayat Alquran yang mengungkapkan perintah shalat. Namun, bangaimana shalat itu dilakukan? Hal itu tidak dijelaskan secara terperinci. Dari sini, Nabi Muhammad SAW bagaimana shalat harus dikerjakan ”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari).

Begitu juga dengan perintah berhaji. Rasulullah SAW menjelaskan “Ambilah (kerjakanlah) haji itu dari manasik yang aku kerjakan.”

Dari sini tampak bahwa kedudukan hadis menjadi penjelas terhadap kandungan ayat-ayat Alquran. Karena itu para ulama sepakat untuk menempatkannya sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.

Dalam perkembangannya kemudian, sepeninggal Rasulullah SAW tak ada lagi tokoh sentral yang bisa menjelaskan kandungan ayat Alquran secara mendetail. Namun demikian, Rasulullah SAW telah meninggalkan “Warisan berharga bagi umatnya” yakni berupa perkataan, perbuatan atapun ketetapan hukum yang pernah dilakukan semasa hidupnya, termasuk sifat-sifatnya.

Saat wukuf di Padang Arafah 9 Zulhijjah tahun 10 H Nabi SAW bersabda” Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara dan tidak akan tersesat kalian selamanya bila berpegang teguh kepada keduanya, yakni Kitabullah (Alquran) dan Sunah Rasulullah.”

Hadis diatas menjelaskan betapa pentingnya kedudukan hadis sebagai pedoman bagi umat islam bila menemukan hal-hal yang belum jelas dalam Alquran.

Seiring perjalanan waktu, perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun akhlak Rasulullah SAW diterjemahkan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda pula dari berbagai generasi.

Akibatnya munculah ungkapan-ungkapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW kendati hal itu tidak diungkapkan oleh Rasulullah SAW. Penghulu dari segala Nabi ini pernah mengecam orang-orang yang suka menisbatkan sesuatu kepada dirinya, sementara hal itu tidak pernah dikerjakannya. “Barangsiapa yang berdusta atas nama diriku, sesungguhnya tempatnya adalah neraka”

Namun, tetap saja banyak orang yang membuat ungkapan-ungkapan yang disandarkan pada diri Nabi SAW. Akibatnya muncullah hadis-hadis palsu dan hadis yang memiliki kualitas rendah.

KUALITAS HADIS
Rendahnya kualitas hadis ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan ya ng dimiliki, berkaitan dengan cara menukilkan atau meriwayatkan hadis Nabi SAW. Baik dari sisi perawinya (orang yang meriwayatkan hadis) maupun makna yang ter kandung dari hadis tersebut. Karena itu, para ulama, mengklasifikasikan hadis itu kedalam beberapa kelompok, ada hadis yang disebut dengan hadis mutawatir, ahad, sahih, hasan, dhaif, maudhu, matruk, marfu dan sebagainya.

Cara untuk mengetahui kualitas hadis itu dikenal dengan ilmu musthalah al-hadits yaitu ilmu yang mempelajari periwayatan hadis dan kualitas dari hadis yang diriwayatkan.

Dalam ilmu ini dikenal dengan dua istilah yaitu ilmu riwayah dan ilmu dirayah . Ilmu riwayah hadis adalah ilmu yang mempelajari cara penukilan, pemeliharaan dan periwayatan sebuah hadis yang berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir) maupun sifat-sifatnya. Dengan mempelajari ilmu ini dapat diketahui asal hadis tersebut melalui periwayatan termasuk ketersambungan dengan Rasulullah SAW.

Sedangkan ilmu dirayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui keadaan sanad, matan baik sahih, hasan, dhaif, rafa, mauquf maupun ‘uluw; turunannya; cara menerima dan menyampaikan hadis; sifat-sifat hadis; syarat-syarat perawi; dan yang serupa dengan itu.

Lalu, apa yang dimaksud dengan hadis Qudsi? Subhi As-Shalih dalam Ulum al-Hadits wa Musthaluhu menjelaskan, Hadis Qudsi adalah kalam (firman) Allah SWT yang diungkapkan oleh Nabi SAW yang didapat dari ilham atau mimpi, namun maknanya langsung dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi SAW.

Sumber : Republika, Ahad, 10 Januari 2010, B1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar