Murottal Al-Quran

Rabu, 25 November 2009

Umar ibnul Khaththab

Ia adalah Amirul Mu'minin Umar ibnul Khaththab. Dijuluki oleh ­Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan al-Faruq karena ia membedakan antara yang hak dan yang batil. Ia dibaiat menjadi khalifah ­pada hari kematian Abu Bakar ash-Shidiq. Selama masa khalifahnya, ia ­melakukan tugasnya dengan baik seperti halnya sirah, jihad, dan ­kesabaran Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu. Dengan Umar ibnul Khaththab Allah memuliakan Islam.

Hal pertama yang dilakukannya setelah menjabat sebagai khalifah ialah mencopot Khalid bin Walid dari jabatan sebagai komandan pasukan dan menggantinya dengan Abu Ubaidah.

Ia ikut menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis dan tinggal di sana selama sepuluh hari. Ia kemudian kembali ke Madinah dengan ­membawa serta Khalid bin Walid. Tatkala Khalid bin Walid menanyakan ­perlakuan Umar terhadap dirinya, Umar Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Demi Allah! Wahai Khalid, sesungguhnya engkau sangat kumuliakan dan sangat kucintai."


Umar kemudian menulis surat ke berbagai negeri dan wilayah ­menyatakan kepada mereka,

"Sesungguhnya, aku tidak memecat Khalid karena kebencian dan tidak pula karena pengkhianatan, tetapi aku memecatnya karena mengasihani jiwa-jiwa manusia dari kecepatan serangan-­serangannya dan kedahsyatan benturan-benturannya."

Khalid bin Walid merupakan seorang putra dari bibinya Umar. Ia meninggal pada masa Khalifah Umar di Hamat.

Damakus berhasil ditaklukkan dengan dua cara, damai dan kekerasan. Adapun Hamsh dan Ba'albak ditaklukkan secara damai. Bashrah dan Aballah ditaklukkan dengan cara kekerasan. Semua penaklukkan ini terjadi pada tahun 14 Hijriah.

Di tahun ini pula Umar menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamah dua puluh rakaat.

Pada tahun 15 Hijriah, Yordania secara keseluruhan berhasil ditaklukkan melalui kekerasan kecuali Thabriah yang ditundukkan dengan damai. Pada tahun ini terjadi pula perangYarmuk dan Qadisiah. Berkata Ibnu Jurair di dalam Tarikh-nya, "Pada tahun ini, Sa'ad mem­bangun Kufah, Umar menentukan sejumlah kewajiban, membentuk diwan-diwan, dan memberi pemberian berdasarkan senioritas dalam memasuki Islam.

Pada tahun 16 Hijriah, al-Ahwaz dan Mada'in ditaklukkan. Di kota ini, Sa'ad menyelenggarakan shalat Jum'at, bertempat di Istana Kisra. Ini merupakan shalat Jum'at berjamah yang pertama diadakan di Irak.

Umar meminta pendapat para sahabat termasuk Ali Radhiyallahu 'anhu untuk keluar memerangi Persia dan Romawi, lalu Ali Radhiyallahu 'anhu mengemukakan pendapatnya, "Sesungguhnya, masalah ini (peluang) menang dan kalahnya tidak banyak dan juga tidak sedikit. Ia adalah agama Allah yang dimenangkan-Nya dan tentara-Nya yang dipersiapkan-Nya dan disebarkan-Nya hingga ke tempat yang telah dicapainya .... Posisi pemerintah (penguasa) bagaikan posisi benang dalam mata rantai biji tasbih. Jika benang itu putus, biji-biji tasbih itu akan berantakan dan hilang .... Jadilah poros dan putarlah roda dengan bangsa Arab .... "

Di tahun yang sama (16 H), terjadi pula Perang Jalaula'. Yazdasir putra Kisra berhasil dikalahkan. Takrit berhasil ditaklukkan. Umar berangkat berperang kemudian menaklukkan Baitul Maqdis dan menyampaikan khotbahnya yang sangat terkenal di al-Jabiah. Pada tahun ini juga, Qanasrin ditaklukkan dengan kekerasan. Haleb, Anthokiah, dan Manbaj ditundukkan bukan secara damai. Pada bulan Rabi'ul Awwal tahun ini, Umar menulis kalender Hijriah dengan meminta pertimbangan Ali Radhiyallahu 'anhu.

Tahun 17 Hijriah, Khalifah Umar memperluas Masjid Nabawi. Kemarau panjang terjadi sehingga beliau mengajak penduduk untuk shalat minta hujan. Dengan perantaraan do'a Abbas, hujan pun turun. Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa Umar keluar untuk shalat meminta hujan; ia mengenakan selendang Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Pada tahun ini pula, al-Ahwaz ditaklukkan secara damai.

WABAH THA'UN
Pasukan kaum Muslimin yang tengah berada di Syam mendapat musibah wabah tha'un pada tahun 12 Hijriah. Setelah mendengar berita ini, Umar yang tengah menuju Madinah berkeinginan untuk kembali lagi ke Syam. Beliau lalu meminta pendapat para sahabatnya. Menang­gapi masalah ini, pada mulanya para sahabat berselisih pendapat, tetapi kemudian Abdurrahman bin Auf datang seraya memberitakan bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,

"Apabila kalian mendengar terjadinya suatu wabah di suatu negeri, janganlah kalian datang ke negeri tersebut. Dan apabila terjadi wabah di suatu negeri, sedangkan kalian tengah berada di negeri tersebut, janganlah kalian keluar melarikan diri dari sana. "

Karena itu, Umar kembali lagi ke Madinah.

Pada tahun 19 Hijriah, Qisariah ditaklukkan dengan kekerasan. Tahun berikutnya, 12 Hijriah, Mesir ditundukkan dengan kekerasan. Dikatakan bahwa Mesir secara keseluruhan ditaklukkan secara damai kecuali Iskandariah. Di tahun ini pula, Maroko ditaklukkan dengan kekerasan. Kaisar Agung Romawi binasa pada tahun yang sama. Khalifah Umar mengusir Yahudi dari Khaibar dan Najran.

Tahun 21 Hijriah, Iskandariah dan Nahawand ditaklukkan melalui kekerasan sehingga orang-orang 'ajam tidak memiliki kekuatan terorganisir lagi. Tahun 22 Hijriah, Adzerbaijan ditaklukkan dengan kekuatan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa negeri ini ditaklukkan dengan cara damai. Pada tahun ini pula, Dainur, Hamdan, Tripoli Barat, dan Rayyi ditaklukkan melalui kekuatan. Pada tahun ke­ 23 Hijriah, sisa-sisa negeri Persia ditaklukkan: Kroman, Sajistan, Ashbahan, dan berbagai pelosoknya. Pada akhir tahun ini, Khalifah Umar menunaikan ibadah haji. Sa'id bin Musayyab berkata, "Setelah nafar (berangkat) dari Mina, Umar singgah di Abthakh kemudian duduk bersila dan mengucapkan do'a seraya mengangkat kedua tangannya,

"Ya Allah, usiaku telah lanjut, kekuatanku telah mulai lemah, rakyatku telah tersebar luas. Karenanya, panggillah aku kepada­Mu tanpa ada kewajiban yang aku sia-siakan atau amalan yang melewati batas.”

Pada penghujung bulan Dzulhijjah tahun ini, Umar ibnul Khaththab syahid terbunuh.

Bukhari meriwayatkan dari Aslam bahwa Khalifah Umar pernah berdo'a,

"Ya Allah, karuniailah aku mati syahid di jalan-Mu dan jadikan­lah kematianku di negeri Rasul-Mu.”

TERBUNUHNYA KHALIFAH UMAR

Orang yang membunuh Umar adalah seorang Majusi bernama Abdul Mughirah yang biasa dipanggil Abu Lu'lu'ah. Disebutkan bahwa ia membunuh Umar karena ia pernah datang mengadu kepada Khalifah Umar tentang berat dan banyaknya kharaj (pajak) yang harus dia keluarkan, tetapi Khalifah Umar menjawab, "Kharajmu tidak terlalu banyak." Dia kemudian pergi sambil menggerutu, "Keadilannya men­jangkau semua orang kecuali aku." Ia lalu berjanji akan membunuhnya. Dipersiapkanlah sebuah pisau belati yang telah diasah dan diolesi dengan racun -orang ini adalah ahli berbagai kerajinan- lalu disimpan di salah satu sudut masjid. Tatkala Khalifah Umar berangkat ke masjid seperti biasanya menunaikan shalat subuh, langsung saja ia menyerang. Dia menikamnya dengan tiga tikaman dan berhasil merobohkannya. Kemudian setiap orang yang berusaha mengepung dirinya diserangnya pula. Sampai ada salah seorang yang berhasil menjaringkan kain kepadanya. Setelah melihat bahwa dirinya terikat dan tidak bisa ber­kutik, dia membunuh dirinya dengan pisau belati yang dibawanya.

Itulah berita yang disebutkan para perawi tentang pembunuhan Umar Radhiyallahu 'anhu. Barangkali di balik peristiwa pembunuhan ini terdapat konspirasi yang dirancang oleh banyak pihak di antaranya orang-orang Yahudi, Majusi, dan Zindiq. Sangat tidak mungkin per­buatan kriminal ini dilakukan semata-mata karena kekecewaan pribadi karena banyaknya kharoj yang harus dikeluarkannya. Wallahu a'lam.

Ketika diberitahukan bahwa pembunuhnya adalah Abu Lu’lu’ah, Khalifah Umar berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku Muslim." Umar kemudian berwasiat kepada putranya, "Wahai Abdullah, periksalah utang-­utangku!"

Setelah dihitung, ternyata Umar mempunyai utang sejumlah 86.000 dirham. Khalifah Umar lalu berkata, "Jika harta keluarga Umar sudah mencukupi, bayarlah dari harta mereka. Jika tidak mencukupi, pintalah kepada bani Addi. Jika harta mereka juga belum mencukupi, mintalah kepada Quraisy." Selanjutnya Umar berkata kepada anaknya, "Pergilah menemui Ummul Mu'minin Aisyah! Katakan bahwa Umar meminta izin untuk dikubur berdampingan dengan kedua sahabatnya (maksudnya Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu)." Mendengar permintaan ini, Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab, "Sebetulnya tempat itu kuinginkan untuk diriku sendiri, tetapi biarlah sekarang kuberikan kepadanya." Setelah hal ini disampaikan kepadanya, Umar langsung memuji Allah.


Umar Menunjuk Salah Seorang Dari Ahli Syura

Sebagian sahabat berkata kepada Umar, "Tunjuklah orang yang engkau pandang berhak menggantikanmu." Umar kemudian menjadi­kan urusan ini sepeninggalnya sebagai hal yang disyurakan antara enam orang, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu 'anhum. Umar berkeberatan menunjuk salah seorang di antara mereka secara tegas. Selanjutnya Umar berkata, "Saya tidak menanggung urusan mereka semasa hidup ataupun sesudah mati. Jika Allah menghendaki kebaikan buat kalian, Allah akan menghimpun urusan kalian pada orang yang terbaik di antara mereka sebagaimana Allah telah menghimpun kalian pada orang yang terbaik di antara kalian sesudah Nabi kalian."

Dengan demikian, Umar merupakan orang pertama yang membentuk "tim" dari para sahabat dan dinamakan dengan Ahli Syura kemudian menyerahkan urusan khalifah sepeninggalnya kepadanya. Dengan demikian, mereka ini merupakan "Lembaga Politik" tertinggi dalam pemerintahan.

Bagaimana berlangsungnya pemilihan Utsman?

Ahli Syura yang telah ditunjuk oleh Umar tersebut mengadakan pertemuan di salah satu rumah guna membahas masalah ini. Sementara itu,Thalhah berdiri di pintu rumah guna menjaga dan melarang orang-­orang untuk memasuki pertemuan tersebut. Dalam syura diperoleh kesepakatan bahwa tiga orang di antara mereka telah menyerahkan masalah khalifah kepada tiga orang lainnnya. Zubair menyerahkannya kepada Ali, Sa'ad menyerahkannya kepada Abdurrahman bin Auf, sedangkan Thalhah memberikan haknya kepada Utsman bin Affan.

Abdurrahman bin Auf berkata kepada Utsman dan Ali, "Siapa­kah di antara kalian berdua yang melepaskan diri dari perkara ini maka kepadanya akan kami serahkan!" Keduanya diam tidak mem­berikan jawaban. Abdurrahman lalu berkata, "Sesungguhnya, aku meninggalkan hakku terhadap perkara ini dan merupakan kewajibanku kepada Allah dan Islam untuk berusaha guna mengangkat orang yang paling berhak di antara kalian berdua." Keduanya menjawab, "Ya." Abdurrahman bin Auf kemudian berbicara kepada masing-masing dari keduanya sambil menyebutkan keutamaan yang ada pada keduanya. Ia lalu mengambil janji dan sumpah, "Bagi siapa yang diangkat, ia harus berlaku adil dan siapa yang dipimpin harus mendengar dan taat." Keduanya menjawab, "Ya." Mereka kemudian berpisah.

Setelah itu, Abdurrahman bin Auf meminta pendapat dari khalayak ramai tentang kedua orang (calon khalifah) ini, sebagaimana ia juga meminta pandangan dari para tokoh dan pimpinan mereka, baik secara bersamaan maupun terpisah, dua-dua, sendiri-sendiri, atau berkelompok, secara sembunyi ataupun terang-terangan. Bahkan kepada para wanita yang bercadar, anak-anak di berbagai perkantoran, orang-orang Arab Badui, dan para pendatang yang datang ke Madinah. Proses (hearing) ini dilakukannya selama tiga hari tiga malam sampai akhirnya didapat kebulatan suara yang menghendaki agar Utsman bin Affan didahulukan kecuali dua orang, yaitu Ammar bin Yassir dan Miqdad, yang menghendaki agar Ali didahulukan, tetapi kemudian kedua orang ini bergabung kepada pendapat mayoritas.

Pada hari keempat, Abdurahman bin Auf mengadakan perte­muan dengan Ali dan Utsman di rumah anak saudara perempuannya, Musawwir bin Makhramah. Dalam pertemuan ini, Abdurahman bin Auf menjelaskan, "Setelah kutanyakan pada orang-orang tentang Anda berdua, kudapati tidak seorang pun di antara mereka yang menolak Anda berdua." Abdurahman bin Auf kemudian keluar bersama keduanya menuju masjid dan mengundang orang-orang Anshar dan Muhajirin sampai mereka berdesakan di masjid. Abdurahman bin Auf naik ke mimbar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam lalu menyam­paikan pidato dan berdo'a panjang sekali. Dalam pidatonya itu, ia mengatakan,

"Wahai manusia, sesungguhnya aku telah menanyakan kepada kalian secara tersembunyi dan terang-terangan tentang orang yang paling kalian percaya dapat mengemban amanat (khalifah), lalu aku tidak melihat kalian menghendaki selain dari kedua orang ini, Ali atau Utsman. Karenanya, berdirilah dan kema­rilah, wahai Ali."

Setelah Ali berdiri dan mendekatinya, Abdurrahman bin Auf menjabat tangan Ali seraya berkata, "Apakah kamu berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?" Ali menjawab, "Tidak, tetapi sesuai usaha dan kemampuanku untuk itu."

Abdurrahman kemudian melepas tangannya lalu berkata, "Berdirilah dan kemarilah, wahai Utsman. Ia kemudian menjabat tangan Utsman seraya berkata, "Apakah kamu berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?" Utsman menjawab, "Ya."

Abdurrahman kemudian mengangkat kepalanya ke arah atap masjid dan meletakkan tangannya di tangan Utsman seraya berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku telah melepaskan amanat yang terpikulkan di atas tengkukku dan telah kuserahkan ke atas tengkuk Utsman." Orang-orang pun kemudian berdesakan membaiat Utsman di bawah mimbar. Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang pertama membaiatnya. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ali merupakan orang yang terakhir membaiatnya.


Beberapa Ibrah

Pertama, telah kita ketahui bahwa tindakan pertama yang dila­kukan oleh Umar Radhiyallahu 'anhu adalah memecat Khalid bin Walid. Kebanyakan penulis kontemporer telah melakukan kesalahan dalam menanggapi masalah pemecatan ini. Mereka menjadikannya bahan untuk menggugat kedudukan Khalid, padahal penafsiran dari pemecatan ini dapat dilihat dengan jelas dalam tindakan Umar sendiri dalam ucapan yang diucapkan tentang Khalid dan dalam pujian yang disampaikannya kepada Khalid. Seperti telah kami sebutkan, Umar berkata kepada Khalid,

"Demi Allah, wahai Khalid, sesungguhnya engkau sangat ku­muliakan dan sangat kucintai." Umar kemudian menulis surat ke berbagai wilayah, menjelaskan sebab pemecatan Khalid bin Walid, "Sesungguhnya, aku tidak memecat Khalid karena kebencian dan tiduk pula karena pengkhianatan, tetapi aku memecat­nya karena mengasihani jiwa-jiwa manusia dari kecepatan se­rangan-serangannya dan kedahsyatan benturan-benturannya. "

Ketika diberi tahu tentang sakitnya Khalid, Khalifah Umar yang waktu itu berada di suatu tempat langsung pergi ke tempat Khalid di Madinah dengan menempuh perjalanan selama semalam, padahal biasanya ditempuh selama tiga hari. Ketika Umar tiba di tempat tersebut, Khalid sudah wafat, lalu Umar mengucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," dengan penuh kesedihan. Umar kemudian duduk di pintu rumah Khalid sampai selesai pengurusan jenazahnya. Ketika kematiannya ditangisi oleh sejumlah wanita lalu dikatakan kepada Umar, "Tidakkah engkau mendengarnya? Mengapa engkau tidak melarang mereka?" Umar menjawab, "Tidaklah apa-apa wanita-wanita Quraisy menangisi Abu Sulaiman selama tidak meratapi dan bukan karena kecemasan."

Ketika mengantar jenazahnya, Umar melihat seorang wanita Muslimah menangisinya. Umar lalu bertanya, "Siapa orang ini?" Dika­takan kepadanya, "Ibunya." Umar berkata penuh keheranan, "Ibunya? Itu sungguh mengagumkan (tiga kali)!" Umar kemudian berkata, "Apakah wanita lain yang melahirkan orang seperti Khalid?"

Kedua, teks yang kami sebutkan di atas menegaskan bahwa Khalid meninggal dan dikebumikan di Madinah. Ini merupakan pen­dapat sebagian ahli sejarah. Akan tetapi, jumhur memandang bahwa sebenarnya Khalid meninggal dan dikuburkan di Hamsh (Suriah). Pendapat yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wan-Nihayah. Sebab, menurut riwayat yang kuat, setelah dipecat oleh Umar, Khalid melakukan ibadah umrah kemudian kembali ke Syam dan menetap di Syam sampai meninggal pada tahun 21 Hijriah.

Demikianlah sikap Umar yang selalu memuji Khalid, baik di waktu masih hidup maupun sesudah kematiannya. Ibnu Katsir meriwa­yatkan dari al-Wakidi bahwa Umar pernah melihat rombongan haji datang dari Hamsh lalu ia bertanya, "Adakah berita yang harus kami ketahui?" Mereka menjawab,"Ya, Khalid telah wafat." Umar kemudian mengucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,’ lalu berkata, "Demi Allah, ia sangat mahir dan tepat menebas tengkuk-tengkuk musuh. Ia adalah seorang tokoh yang tepercaya."

Pujian Umar kepada Khalid tersebut tidak bertentangan dengan sebagian sikap yang bersifat ijtihadiah yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara keduanya kemudian masing-masing dari keduanya bertindak sesuai pandangan yang diyakininya.

Sebaiknya mereka yang menggugat kedudukan Khalid karena sikap Umar terhadapnya atau orang-orang yang menggugat kedudukan Umar karena sikap tersebut, mereka memahami permasalahan dari segala seginya dan membedakan antara sikap ijtihadiah yang dijamin mendapat pahala betapapun hasilnya dan penyimpangan pemikiran atau perilaku yang tidak mungkin dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

Ketiga, di antara hal paling menonjol yang dapat dicatat oleh setiap orang yang memperhatikan Khalifah Umar ialah kerja sama yang bersih dan istimewa antara Umar dan Ali Radhiyallahu 'anhum. Dalam khilafah Umar, Ali menjadi mustasyar awwal (penasihat pertama) bagi Umar dalam semua persoalan dan problematika. Setiap kali Ali mengusulkan suatu pendapat, Umar selalu melaksanakannya dengan penuh kerelaan sehingga Umar pernah berkata, "Seandainya tidak ada Ali, niscaya Umar celaka."

Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan dan kecintaan memberikan nasihat kepadanya dalam segala urusan dan persoalan. Seperti Anda ketahui bahwa Umar pernah meminta pendapatnya tentang keinginannya untuk berangkat sendiri memimpin pasukan guna memerangi orang-orang Persia, kemudian Ali menasihatinya dengan suatu nasihat yang mencerminkan kecintaannya kepada Umar. Ali menasihatinya supaya tidak berangkat, tetapi cukup dengan meng­gerakkan roda peperangan dengan orang-orang Arab yang ada di bawah kekuasaannya. Diperingatkannya, jika ia berangkat, hal itu niscaya akan menimbulkan berbagai peluang yang lebih berbahaya daripada musuh yang akan dihadang-Nya itu sendiri.

Seandainya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah menge­mukakan bahwa khilafah sesudahnya harus diserahkan kepada Ali Radhiyallahu 'anhu, apakah mungkin Ali Radhiyallahu 'anhu akan berpaling dari perintah Rasulullah tersebut dan mendukung orang-orang yang merampas haknya atau merampok kewajibannya dalam memegang khilafah dengan dukungan kerja sama yang demikian ikhlas dan konstruktif? Mungkinkah seluruh sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam mengabaikan perintah Rasulullah tersebut? Mungkinkah semua sahabat itu telah bersepakat -terutama Ali- untuk tidak melak­sanakan perintah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam tersebut?

Keempat, sebagaimana khilafah Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu datang pada saat yang tepat, di mana tidak layak pada saat itu kecuali Abu Bakar, demikian pula khilafah Umar. Beliau menjadi orang yang paling tepat untuk memegang khilafah pada saat itu. Di antara hal yang paling mulia yang pernah dilakukan Abu Bakar ialah mengokohkan kembali Islam sebagai bangunan dan negara serta keyakinan di dalam

jiwa, setelah terjadinya keguncangan menyusul kematian Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Hal paling agung yang pernah dilakukan Umar ialah memperluas futuhat Islamiyah ke ujung negeri-negeri Per­sia, Syam, dan Maghrib (Maroko). Membangun negeri-negeri Islam, membentuk berbagai diwan, dan mengokohkan pilar-pilar negara Islam sebagai negara peradaban yang paling kuat di permukaan bumi.

Ini menunjukkan sejauh mana hikmah Allah dalam memelihara para hamba-Nya dan mewujudkan sarana kebaikan dan kebahagiaan bagi mereka dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Kelima, kami mengatakan tentang cara pemilihan Khalifah Utsman sebagaimana yang telah kami katakan tentang Khalifah Umar. Menunjuk seorang pengganti dalam kekhalifahan (al-'ahdu bil-khalifah) merupakan proses yang ditempuh untuk Khalifah Umar dan Utsman. Perbedaan antara keduanya bahwa Abu Bakar menunjuk Umar secara langsung, sedangkan Umar menunjuk seorang penggantinya di antara enam orang yang menjadi anggota Majelis Syura kemudian menyerah­kan pemilihannya kepada kaum Muslimin.

Seperti telah Anda ketahui, pemilihan Utsman di antara enam orang yang diajukan tersebut berlangsung dengan musyawarah dari keenam orang itu sendiri, kemudian dengan musyawarah dan baiat kaum Muslimin atau Ahlul Halli wal-'Aqdi. Ali Radhiyallahu 'anhu adalah salah seorang di antara enam orang yang ditunjuk dan merupakan orang yang pertama membaiat Utsman Radhiyallahu 'anhu.

Dengan demikian, kita mengetahui secara gamblang bahwa kaum Muslimin sampai periode ini masih merupakan satu jamaah. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mempermasalahkan urusan khilafah atau mempertanyakan siapakah orang yang paling berhak memegangnya? Yang ada hanyalah proses musyawarah dan pembahasan dalam setiap tuntutan untuk memilih khalifah secara syar'i dan sehat.

Apa pun usaha yang Anda kerahkan, sesungguhnya Anda tidak akan dapat menemukan, pada seluruh periode ini (khilafah Abu Bakar, Umar dan Utsman), adanya perdebatan atau diskusi tentang al-Qur'an atau Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah menunjuk ataukah tidak. Anda pun tidak akan menemukan kritik atau tindakan menya­lahkan cara yang ditempuh dalam proses pengangkatan ketiga khalifah tersebut.

Lalu, kapan dan atas dorongan apa terjadinya perpecahan yang telah memecah belah jamaah Muslimin menjadi dua kubu yang ber­tentangan karena masalah khilafah, padahal selama tiga periode khilafah, mereka hidup bersatu dan bekerjasama secara rapi?

Masalah ini akan kami sebutkan tatkala membahas Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa beliau.

Sumber: Tarikhul Khulafa' dan Al-Bidayah wan-Nihayah

Khalid Al-Miski

Berikut ini saya post-kan lg kisah teladan dari www.kisahislam.com semoga kita semua mendapat ibroh darinya..

Khalid Al-Miski adalah seorang pemuda yang tampan, rajin beribadah, wara', ikhlas, rajin bekerja, dan amanah. Dia seorang pedagang keliling kampung yang membawa barang dagangannya di atas kepala.

Salah seorang wanita cantik tertarik pada Khalid Al-Miski yang tampan. Suatu hari, wanita ini memanggil Khalid dengan maksud akan membeli barang dagangannya. Ia telah merancang tipu-dayanya, lalu Khalid diminta agar masuk ke dalam rumahnya dengan alasan ia akan membeli dagangannya. Ternyata ia segera mengunci pintu-pintu rumahnya, kemudian berkata, "Kamu akan celaka, jika tidak mau melayani aku! Sebab aku akan memper­malukanmu di depan umum sehingga mereka menuduhmu ingin memperkosaku."

Khalid berusaha mengalihkan pembicaraan, tetapi tanpa membuahkan hasil. Lalu Khalid memperingatkannya dengan janji dan ancaman Allah. Akan tetapi, setan telah menguasai wanita cantik tersebut dan membutakan mata hatinya.

Ketika Khalid yakin bahwasanya ia tidak bisa menye­lamatkan diri dari ancaman wanita tersebut, maka ia tampakkan dirinya menyetujui permintaannya dan meminta izin untuk ber­benah diri di kamar mandi. Wanita itu bahagia dan setuju. Khalid masuk ke kamar mandi dan berpikir bagaimana caranya agar dapat terhindar dari godaan ini. Kemudian, Allah memberi petunjuk, sekalipun nanti tubuhnya akan kotor. Tidak masalah, asalkan ia dapat menghindarkan diri dari maksiat yang pasti mendatangkan murka Allah. Kemudian, Khalid melumuri wajah dan tubuhnya dengan tinja, dengan demikian tercium bau tidak enak, kelihatan jelek, dan menjijikkan.

Khalid keluar dari kamar mandi, begitu wanita tersebut melihat Khalid kotor dan menjijikkan, ia menghardik dan me­nyuruhnya keluar serta mengusir dari rumahnya. Pemuda tersebut lari dan meninggalkan rumah wanita untuk menyelamatkan diri dan agamanya.

Allah Ta'ala mengganti bau busuk dan menjijikkan itu dengan bau yang harum bagaikan minyak miski. Orang-orang pun dari kejauhan sudah mengetahui kedatangannya, sebelum mereka melihat Khalid, yaitu dengan mencium baunya yang harum. Sejak saat itu orang-orang memanggilnya dengan Khalid Al-­Miski.

Inilah seorang Mukmin yang sebenarnya, yang meyakini bahwa Allah senantiasa mengawasi gerak-geriknya setiap saat sehingga sekalipun di hadapannya seorang wanita yang cantik dan gemulai, namun ia merasa takut kepada Allah. Tidak takut kepada manusia atau undang-undang karena semuanya tidak dapat melihat dan mengawasinya sepanjang waktu. Hanya Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihatlah yang senantiasa memantau gerakannya. Khalid takut dengan bahaya yang ditim­bulkan oleh maksiat, maka ia mencari alasan dengan melumuri kotoran pada tubuhnya, dan justru ini menunjukkan kebersihan batinnya dan ketulusan imannya. Kemudian, Allah mengganti­nya dengan bau harum semerbak di dunia dan baginya di akhirat pahala yang besar dan berlimpah.

Sekarang ini, di zaman kita hidup, berapa banyak manusia melumuri wajah dan tubuhnya dengan parfum dan wangi­-wangian. Akan tetapi, bau busuk perbuatan mereka menjadikan mereka tercemar dan terbongkar keburukannya, walaupun mereka berusaha menutupi aibnya. Disebabkan mereka hanya takut kepada manusia, bukan kepada Allah. Balasan seseorang itu sesuai dengan jenis amalnya.

Sumber: Kama Tadinu Tudanu
Khalid Al-Miski
Written by Redaksi2
Friday, 07 November 2008 11:24
www.http://kisahislam.com/kisah-teladan/108-khalid-al-miski.html

Minggu, 15 November 2009

Adab Shodaqoh

Berikut adalah rangkuman dari kajian bada magrib di Mesjid Fastabiqul Khoirot Jl. Kuningan Antapani Bandung, dalam kajian tersebut pembahasannya seputar ayat al Quran mengenai Shodaqoh.. berikut rangkumannya :

QS 2 : 261. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.

QS 2 : 262. orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

# Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

QS 2 : 245. siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

QS 2 : 263. Perkataan yang baik dan pemberian maaf[167] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

# Perkataan yang baik Maksudnya menolak dengan cara yang baik, dan maksud pemberian ma'af ialah mema'afkan tingkah laku yang kurang sopan dari si penerima.

QS 2 : 264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir[168].

[168] Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula mendapat pahala di akhirat.

QS 2 : 271. jika kamu Menampakkan sedekah(mu)[172], Maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya[173] dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[172] Menampakkan sedekah dengan tujuan supaya dicontoh orang lain.
[173] Menyembunyikan sedekah itu lebih baik dari menampakkannya, karena Menampakkan itu dapat menimbulkan riya pada diri si pemberi dan dapat pula menyakitkan hati orang yang diberi.

QS 3 : 92. kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Rabu, 11 November 2009

Hidup adalah pilihan

Untuk meraih sesuatu yang diinginkan tentulah membutuhkan sebuah perjuangan dan usaha yang ekstra, akan tetapi dalam perjalannya tidak setiap paya yang kita perjuangkan membuahkan hasil yang diharapkan.

Berbagai masalah dan intrik kadang muncul menghampiri kita, mungkin disitulah letak ujianya kali ya...

dari proses ujian inilah kadang kita dihadapkan pada pilihan-pilihan, mau pilih lanjut atau mundur secara perlahan atau mundur total he..

Selalu ada dua pilihan mungkin udah sunatullah kali ya, mau pilih jalan ke kiri atau ke kanan, lurus atau belok, cepat atau lambat, pilihan jalan yang pertama adalah jalan yang tentunya akan mengantarkan kita ke tujuan yang diinginkan (kesuksesan, kebahagiaan, keuntungan dll) dan jalan yang kedua adalah jalan yang keluar dari jalur tujuan yang direncanakan bisa jadi dalam perjalanannya kata orang sunda "kuralang kuriling dulu atau bahkan nyasar..hingga berujung pada kegagalan, kesedihan dsb,,

Semua orang tentu ingin sampai pada tujuan akhir yang diinginkan dengan selamat dan tepat waktu namun dalam menyikapi pilihan jalan tadi baik jalan positif atau negatif akan menentukan hasil akhir dari apa yang kita perjuangkan, jika kita sikapi secara positif tentu hasilnyapun akan positif begitupun sebaliknya,,

dalam mengarungi kehidupan dan perjuangan ini kadang kapan dan bagaimana kita sampai ke tujuan sering tidak bisa di tebak dan dihitung secara matematis..

Namaun yang paling penting juga adalah proses dalam menuju tujuan tsb, karena dalam proses tersebut banyak hal yang akan membentuk watak, kedewasaan, pengalaman dll terhadap diri kita,,

Perihal hasil akhir kita serahkan kepada yang menggenggam segala urusan ALLAH SWT kita tinggal tawakal kepadaNYA

Allah SWT berfirman :

"Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal." (Ali Imran : 122).

'Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya QS. Ath-Thalaq : 33)

Dari umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, " Aku mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam bersabda :

"Andaikata kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan menganugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia menganugerahkan rezeki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, lalu kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang."

Diantara Doa yang dibaca Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ialah :

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon taufuk kepada-Mu untuk mencintai-Mu daripada amal-amal, kebenaran tawakal dan baik sangka kepada-Mu." (Diriwayatkan Abu Nu'aim)

Semoga bermanfaat...

Hak-hak Sesama Orang Muslim

Inilah di antara hak-hak sesama orang Muslim:

l. Mengucapkan salam kepadanya saat bertemu, memenuhi un¬dangannya, menjawab bersinnya, menjenguknya jika sakit, menghadiri jenazahnya saat meninggal dunia, memberikan bagiannya, memberinya nasihat jika dia meminta nasihat, menjaga dirinya saat dia berjauhan, mencintai bagi dirinya apa yang kita cintai bagi anda, membenci bagi dirinya apa yang kita benci bagi diri kita.

2. Tidak boleh menyakiti seorang Muslim, dengan perkataan atau perbuatan, bertawadhu' kepada sesama orang Muslim, tidak menyombongkan diri di hadapannya, tidak menggunjing orang lain di hadapan¬nya dan tidak mendengarkan gunjingannya.

3. Jangan menghindarinya lebih dari tiga hari, yang didasarkan kepada hadits yang cukup masyhur. Dalam hadits lain disebutkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallaltu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,


"Tidak diperbolehkan bagi orang Mukmin untuk menghindari orang Mukmin lainnya lebih dari tiga hari. Jika sudah lebih dari tiga hari lalu dia bertemu dengannya, maka hendaklah dia mengucapkan salam kepadanya. Jika dia menjawab salamnya, maka keduanya bersekutu dalam pahala. Jika dia tidak menjawab salamnya, maka yang mengucapkan salam sudah terbebas dari dosa menghindarinya. " (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Abu Daud).

Namun penghindaran ini hanya berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan. Tapi jika dalam kebenaran agama, maka menghindari ahli bid'ah dan para pelaku kedurhakaan berlaku untuk selama-lamanya selagi mereka belum bertaubat dan tidak kembali kepada kebenaran.

4. Berbuat baik kepada siapa pun orang Muslim menurut kesanggupan¬nya, tidak memasuki tempat tinggalnya kecuali setelah perkenannya dan meminta izin tiga kali sebelum masuk. Jika tidak ada jawaban, maka dia harus kembali.

5. Memperlakukan orang lain dengan akhlak yang baik dengan cara-cara tersendiri. Jika bertemu orang bodoh, maka dia perlu diberi ilmu. Jika bertemu orang yang suka bercanda, dia harus diberi pengertian. Jika bertemu orang yang lamban daya pikirnya, maka dia diberi penjelasan.

6. Menghormati orang tua, menyayangi anak kecil, menghadapi siapa pun dengan wajah yang berseri, memenuhi janji, tidak mendatangkan kepadanya kecuali apa yang seperti dia sukai.

Al-Hasan berkata, "Allah mewahyukan empat kalimat kepada Adam seraya befirman, Ti dalam empat kalimat itu terdapat keterpaduan urusan bagi-Ku dan bagi anakmu; satu bagi-Ku dan satu lagi bagimu, satu antara Aku dan antara dirimu, dan satu lagi antara dirimu dan makhluk. Yang menjadi milik-Ku: Hendaklah kamu menyembah-Ku dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Ku. Yang menjadi milikmu: Amalmu akan kuberi balasan lebih banyak dari apa yang kamu butuhkan. Yang antara Aku dan kamu: Hendaklah kamu berdoa dan Aku pasti mengabulkannya. Yang antara dirimu dan makhluk: Hendaklah kamu memperlakukan mereka dengan sesuatu yang kamu sukai, seperti yang mereka sukai terhadap dirimu'.

Bersambung..

Teman yg baik

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Seseorang itu berada pada agama teman karibnya. Maka hendak¬lah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang menjadi temannya. " (Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ahmad).

Karena itu orang yang dijadikan teman harus memiliki sifat-sifat yang memang menunjang persahabatan. Masalah ini ada persyaratannya, tergantung pada manfaat yang dituntut dari persahabatan itu, apakah persahabatan itu berorientasi kepada keduniaan, seperti pemanfaatan harta dan kedudukan, atau hanya sekedar persahabatan biasa dan berbincang-bincang. Tapi bukan ini tujuan yang dimaksud.

Boleh jadi persahabatan itu berorientasi agama, yang di sana berhimpun berbagai tujuan yang beragam, di antaranya mencari manfaat lewat ilmu dan amal, mencari manfaat lewat kedudukan, karena hendak berjaga jaga dari gangguan orang yang bisa mengotori hati dan menghalangi untuk melaksanakan ibadah, mencari dukungan dalam melaksanakan tugas, sehingga kondisinya menjadi kuat. Ada pula tujuan¬nya untuk mencari manfaat untuk kepentingan akhirat, sebagaimana yang dikatakan sebagian salaf, "Perbanyaklah teman, karena setiap orang Mukmin itu mempunyai syafaat."

Cinta dan Benci

Persatuan merupakan buah akhlak yang baik dan perpecahan meru¬pakan buah akhlak yang buruk, karena akhlak yang baik tentu menghasilkan rasa saling mencintai dan keselarasan, sedangkan ahlak yang buruk membuahkan rasa membenci dan memusuhi. Jadi tidak bisa dipungkiri bahwa ada keutamaan dalam akhlak yang baik. Banyak hadits yang menunjukkan hal ini.

Diriwayatkan dari hadits Abud-Darda' Radhiyallahu Anhu, dari abi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan orang Muk¬min pada Hari Kiamat selain dari akhlak yang baik. " (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Ahmad dan Al-Bukhary).

Dalam hadits lain disebutkan,

"Sesungguhnya orang yang paling kucintai di antara kalian dan yang paling dekat tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat ialah yang paling baik akhlaknya di antara kalian, dan sesungguh¬ nya orang yang paling kubenci di antara kalian dan yang paling jauh tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat ialah yang paling buruk akhlaknya di antara kalian. " (Diriwayatkan Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Baghawy).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang sesuatu yang lebih banyak membuat orang masuk surga. Beliau menjawab,

"Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik. " (Diriwayatkan At-Tir¬midzy, Ibnu Majah, Ahmad dan Al-Baghawy).

Tentang mencinta karena Allah, telah disebutkan di dalam Ash-Sha¬hihain, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, tentang tujuh golongan yang dilindungi Allah dalam lindungan-Nya, pada hari yang tiada lindungan selain lindungan-Nya, salah satu di antaranya adalah dua orang yang saling mencinta karena Allah, berkumpul karena yang demikian itu dan berpisah karena yang demikian itu pula. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim). Dalam hadits (Qudsy) lain, disebutkan, bahwa Allah befirman,

"Kecintaan-Ku wajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena Aku, kecintaan-Ku wajib bagi orang-orang yang saling memberi karena Aku, dan kecintaan-Ku wajib bagi orang-orang yang saling berkunjung karena Aku. " (Diriwayatkan Malik dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain disebutkan,

"Tali iman yang paling kuat adalah engkau mencinta karena Allah dan membenci karena Allah. "

Orang yang mencinta karena Allah, tentunya juga membenci karena Allah. Jika kita mencintai seseorang karena dia orang yang taat kepada Allah, maka kita akan membencinya karena Allah jika dia berbuat durhaka. Sebab siapa yang mencintai karena sebab tertentu, tentu dia akan membenci jika sebab itu tidak ada. Jika seseorang menghimpun perkara-perkara yang terpuji dan perkara-perkara yang dibenci, maka kita bisa mencintainya di satu sisi dan membencinya di sisi yang lain.

kita harus mencintai orang Muslim karena keislamannya, membenci karena kedurhakaannya, sehingga kita berdiri pada posisi yang ril antara satu sisi dengan sisi yang lain. Jika dia merasa lalai lalu menyesali kedurhakaan yang dilakukannya, maka kita harus menutupi durhakaannya. Namun jika terus-menerus durhaka, maka kita harus menunjukkan tanda ketidaksenangankita terhadap dirinya, dengan cara menjauh dan menghindarinya.

Selasa, 10 November 2009

Adab Guru dan Murid

Murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak¬akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah

hati. Dia harus melepaskan diri dari berbagai kesibukan yang lain. Sebab selagi pikiran bercabang-cabang, maka kemampuannya menggali hakikat menjadi terbatas. Orang-orang salaf lebih mementingkan ilmu daripada hal-hal yang lain. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad, bahwa dia baru menikah setelah berumur empat puluh tahun.

Suatu kali Abu Bakar Al-Anbary dihadiahi seorang pembantu wanita yang cantik. Setelah pembantu wanita ini berada di rumahnya, dia berpikir untuk menanyakan suatu masalah kepada Abu Bakar. Karena itu dia masuk ke ruangannya dan hanya mereka berdua saja yang ada di sana. Abu Bakar Al-Anbary segera berteriak, "Bawa wanita ini ke penjual budak! "

"Apa dosaku?" tanya wanita itu.
"Engkau tak bersalah. Hanya saja hatiku bisa sibuk memikirkan dirimu. Wanita semacam dirimu ini tentu akan menghalangiku untuk mendalami ilmu. "

Murid harus menyerahkan kendali dirinya kepada guru, seperti pasien yang menyerahkan penanganan dirinya kepada dokter. Karena itu dia harus merendahkan diri dan benar-benar menurut kepadanya.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu pernah memegangi tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu, seraya berkata, "Beginilah yang kami lakukan terhadap orang yang berilmu."

Selagi murid merasa sombong dengan tidak mau mengambil manfaat dari orang yang mungkin kurang terkenal, maka dia adalah orang yang bodoh. Sebab hikmah adalah milik orang Mukmin yang hilang. Selagi barang itu sudah ditemukan, maka hendaklah dia segera mengambilnya. Hendaklah dia menyerahkan pendapatnya kepada pendapat gurunya. Jika guru salah, masih lebih bermanfaat bagi murid daripada murid merasa dirinya benar.

Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, "Di antara hak orang yang berilmu (guru) atas dirimu ialah: Hendaklah engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir (dalam majlisnya), memberi salam hormat secara khusus kepadanya, duduk di hadapannya, tidak menunjuk dengan tangan ke arahnya, tidak memandang secara tajam kepadanya, tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan, tidak membantunya dalam memberikan jawaban, tidak memaksanya jika dia letih, tidak mendebatnya jika dia tidak menginginkannya, tidak memegang bajunya jika dia hendak bangkit, tidak membocorkan rahasianya, tidak menggunjingnya di hadapan orang lain, tidak mencari-cari kesalahannya, jika dia salah bicara harus dimaklumi, tidak boleh berkata di hadapannya, "Kudengar Fulan berkata begini, yang berbeda dengan pendapatmu", jangan katakan di hadapannya bahwa dia adalah seorang ulama, jangan terus-menerus menyertainya, jangan sungkan-sungkan untuk berbakti kepadanya, jika diketahui dia mempunyai suatu keperluan, maka keperluannya harus segera dipenuhi. Kedudukan

dirinya seperti pohon korma, sedang engkau menunggu-nunggu apa yang akan jatuh darinya."

Orang yang menekuni suatu ilmu, sejak semula jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain, karena niat ini bisa mengacaukan pikiran¬nya dan membuyarkan konsentrasinya. Dia harus mengambil yang terbaik dari segala sesuatu. Sebab umurnya tidak memungkinkan untuk mendalami semua ilmu. Dia harus membulatkan tekadnya untuk memilih ilmu yang paling baik, yang tak lain adalah ilmu yang berkaitan dengan akhirat, yang dengan ilmu itu akan diperoleh keyakinan seperti yang diperoleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu. Sampai-sampai Rasulullah Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam memberikan kesaksian kepadanya, dengan bersabda, "Abu Bakar tidak mengalahkan kalian karena banyak puasa dan tidak pula shalat, tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam dadanya. " )

Sedangkan guru mempunyai beberapa tugas, di antaranya: Menya¬yangi, menuntunnya seperti menuntun anak sendiri, tidak meminta im¬balan uang, tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih, dia harus mengajarkan ilmu karena mengharapkan ridha Allah, tidak melihat dirinya lebih hebat dari murid-muridnya, tetapi dia mau melihat bahwa adakalanya mereka lebih utama jika mereka mempersiapkan hatinya untuk bertaqarrub kepada Allah dengan cara menanam ihnu di dalam hatinya, harus melihat bahwa murid adalah seperti sepetak tanah yang siap di¬tanami. Tidak selayaknya bagi guru untuk meminta balasan kecuali dari Allah semata. Bahkan orang-orang salaf menolak jika ada murid yang memberinya hadiah. Guru tidak boleh menyimpan nasihat yang seharusnya diberikan kepada murid, walau sedikit pun, harus memperingatkannya dari akhlak yang buruk, dengan cara yang sehalus-halusnya, dan tidak boleh mendampratnya, karena dampratan justru akan mengurangi pamor diri¬nya. Guru harus mengetahui tingkat pemahaman murid dan kapasitas akal¬nya, tidak boleh menyampaikan pelajaran di luar kesanggupan akalnya.

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia menurut kadar pemikiran mereka. "

Ali bin Abu Thalib berkata, "Sesungguhnya di sini ada ilmu. Jika aku beruntung mendapatkannya, tentu aku akan membawanya. "

Asy-Syafi'y berkata, "Apakah aku harus menebar mutiara di tempat penggembalaan binatang, dan menata apa yang sudah ditebar bagi peng¬gembala? Siapa yang menyampaikan ilmu kepada orang-orang yang bodoh, maka akan menyia-nyiakan ilmu itu, dan siapa yang tidak menyam¬paikan ilmu kepada orang yang layak menerimanya, maka dia telah berbuat zhalim. "

Guru harus berbuat sesuai dengan ilmunya, tidak mendustakan antara perkataan dan perbuatan. Allah befirman,
"Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab?" (Al-Baqarah: 44).

Ali bin Abu Thalib berkata, "Punggungku terbelah gara-gara dua orang, yaitu orang berilmu yang terbuka aibnya dan orang bodoh yang menjadi ahli ibadah."
Bencana-bencana Ilmu serta Penjelasan antara Mama Su'dan Mama Akhirat

Ulama su' (yang buruk) adalah mereka yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpan¬dang di kelompoknya.

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu meriwayatkan dari Nabi Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Barangsiapa mempelajari suatu ilmu, yang dengan ilmu itu se¬mestinya dia mencari Wajah Allah, dia tidak mempelajarinya me¬lainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada Hari Kiamat. " (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits lain beliau bersabda,


"Barangsiapa mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di ha¬dapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya, maka dia berada di neraka. " (Diriwayatkan At-Tirmidzy).

Di antara orang salaf ada yang berkata, "Orang yang paling menye¬sal saat kematian tiba adalah orang berilmu yang merasa kurang ilmunya." Yang dituntut dari orang yang berilmu ialah memperhatikan perintah dan larangan, bukan status dirinya sebagai orang zuhud atau meninggalkan hal-hal yang sebenarnya mubah. Tetapi sebisa mungkin dia harus mem¬batasi diri dari urusan keduniaan. Sebab memang tidak semua tubuh manusia tahan menghadapi serangan penyakit.

Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats-Tsaury membiasakan makanan yang baik. Dia pernah berkata, "Sesungguhnya apabila binatang melata tidak memperhatikan makanannya, maka dia tidak akan bisa bekerja."

Sebaliknya, Imam Ahmad bin Hambal adalah orang yang sabar menghadapi kondisi kehidupan yang sempit. Memang tabiat manusia berbeda-beda.

Di antara sifat-sifat para ulama akhirat, mereka mengetahui bahwa dunia ini hina sedangkan akhirat adalah mulia. Keduanya seperti dua macam kebutuhan pokok, namun mereka lebih mementingkan akhirat. Perbuatan mereka tidak bertentangan dengan perkataan, kecenderungan mereka hanya kepada ilmu-ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhi ilmu-ilmu yang manfaatnya lebih sedikit, karena lebih mementingkan ilmu yang lebih besar manfaatnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Syaqiq Al-Balkhy Rahimahullah, bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim, "Sudah seberapa lama engkau menyertai aku. Lalu apa saja pelajaran yang bisa engkau serap?"

Hatim menjawab, "Ada delapan macam:

1. Aku suka mengamati manusia. Ternyata setiap orang ada yang di¬cintainya. Namun jika dia sudah dibawa ke kuburannya, toh dia ha¬rus berpisah dengan sesuatu yang dicintainya. Maka kujadikan yang kucintai adalah kebaikanku, agar kebaikan itu tetap menyertaiku di kuburan.

2. Kuamati Allah yang telah befirman,

"... dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu ". (An-Nazi'at: 40).

Sebisa mungkin aku mengenyahkan hawa nafsu, hingga j iwaku menjadi tenang karena taat kepada Allah.

3. Setelah kuamati aku tahu bahwa setiap orang mempunyai sesuatu yang bernilai dalam pandangannya, lalu dia pun menjaganya. Kemudian kuamati firman Allah,
"Apa yang di sisi kalian akan lenyap dan apa yang di sisi Allah adalah kekal ". (An-Nahl: 96).

Setiap kali aku mempunyai sesuatu yang beharga, maka aku segera menyerahkannya kepada Allah, agar ia kekal di sisi-Nya.

4. Kulihat banyak orang yang kembali kepada harta, keturunan, ke¬muliaan dan kedudukannya. Padahal semua ini tidak ada artinya apa-apa. Lalu kuamati firman Allah,
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian ". (Al¬Hujurat: 13).

Karena itu aku beramal dalam lingkup takwa, agar aku menjadi mulia di sisi-Nya.

5. Kulihat manusia sering iri dan dengki. Lalu kuamati firman Allah, "Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. " (Az-Zukhruf: 32).

Karena itu kutinggalkan sifat iri dan dengki.

6. Kulihat mereka saling bermusuhan. Lalu kuamati firman Allah, "Sesungguhnya syetan itu musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian). " (Fathir: 6).

Karena itu aku tidak mau bermusuhan dengan mereka dan hanya syetan semata yang kujadikan musuh.

7. Kulihat mereka berjuang habis-habisan untuk mencari rezki. Lalu kuamati firman Allah,
"Dan, tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezkinya. " (Hud: 6).

Karena itu aku menyibukkan diri dalam perkara yang memang menjadi kewajibanku dan kutinggalkan sesuatu meskipun memberikan keun¬tungan kepadaku.

8. Kuamati mereka mengandalkan perdagangan, usaha dan kesehatan badan mereka. Tapi aku mengandalkan Allah dengan bertawakal kepada-Nya. "

Di antara sifat ulama akhirat, hendaknya mereka membatasi diri untuk tidak terlalu dekat dengan para penguasa dan bersikap waspada jika bergaul dengan mereka.

Hudzaifah Radh'ryallahu Anhu pernah berkata, "Jauhilah beberapa sumber cobaan. "
Ada yang bertanya, "Apa itu?"

Dia menjawab, "Pintu para penguasa. Salah seorang di antara kalian memasuki tempat tinggal seorang penguasa, lalu dia membenarkan diri¬nya dengan cara dusta dan mengatakan apa yang tidak seharusnya dia katakan. "

Sumber : Kitab Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah

Ilmu yang tidak bermanfaat

Mendebatkan suatu topik masalah dengan tujuan untuk mencari kemenangan dan pamor merupakan sumber akhlak yang tercela. Orang yang bersangkutan tidak akan selamat dari kesombongan, karena ke¬kalahan rivalnya. Dia tentu menjadi ujub terhadap diri sendiri, karena dia lebih unggul daripada lawan-lawannya. Dia tidak selamat dari riya', karena tujuan pokok dari debat itu, agar semua orang tahu kemenangan¬nya, lalu mereka akan melontarkan pujian dan sanjungan kepadanya. Umurnya berlalu secara sia-sia untuk mencari ilmu yang bisa memban¬tunya mendapatkan kemenangan saat berdebat, dan sama sekali tidak bermanfaat di akhirat, seperti kemahirannya menguasai kata-kata yang manis dan tepat atau kata-kata yang jarang digunakan orang lain. Inilah gambaran orang yang ilmunya tidak bermanfaat. Telah diriwayatkan dalam hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Orang yang paling keras adzabnya pada Hari Kiamat adalah orang berilmu yang ilmunya tidak bermanfaat baginya. " (Diriwayatkan Ath-Thabrany, Ibnu Ady dan Al-Baihaqy) T.

Ilmu yang bermanfaat

Ilmu-ilmu yang terpuji itu bisa dibagi menjadi dua macam:

l. Terpuji secara seutuhnya. Selagi ilmu ini semakin banyak, maka ia semakin baik dan utama, yaitu ilmu tentang Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, hikmah-Nya yang menyertakan akhirat dengan dunia. Ini adalah ilmu yang harus dicari dan yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan di akhirat. Ilmu ini bagaikan lautan yang tidak diketahui seberapa jauh kedalamannya. Manusia hanya bisa berenang di bagian pesisir dan pantainya menurut kesanggupannya.

2. Ilmu-ilmu yang terpuji dengan takaran yang tertentu, seperti ilmu-ilmu yang sudah saya sebutkan di atas, yang termasuk dalam kategori fardhu kifayah, karena dalam masing-masing ilmu ini ada kekurangan dan keterbatasan.

Maka jadilah salah seorang di antara dua jenis manusia: Pertama, jadilah orang yang sibuk dengan dirimu sendiri. Kedua, setelah selesai dari kesibukan dengan diri sendiri, berikanlah manfaat kepada orang lain.

Engkau jangan menjadi orang yang hanya sibuk memperbaiki orang lain sebelum memperbaiki diri sendiri. Perbaikilah batinmu dan bersihkan¬lah ia dari sifat-sifat yang tercela, seperti terlalu ambisius, iri, dengki, riya' dan ujub sebelum engkau memperbaiki lahirmu. Insya Allah hal ini akan dibahas dalam bab perusak.

Jika engkau belum bisa menata diri sendiri dan batinmu, maka janganlah menyibukkan diri dengan fardhu kifayah. Sebab banyak orang lain yang telah melaksanakan fardhu kifayah ini. Orang yang hendak mencelakakan diri sendiri dengan memperbaiki keadaan orang lain adalah orang yang bodoh. Perumpamaan dirinya seperti orang yang di dalam pakaiannya tersusupi kalajengking, lalu dia mengendap-endap untuk menghalau seekor lalat agar tidak hinggap di tubuh orang lain di sam¬pingnya.

Jika engkau sudah bisa menata diri sendiri dan membersihkannya atau lebih jauh dari itu, bolehkah engkau menyibukkan diri dengan fardhu-fardhu kifayah. Perhatikan pula tahapan-tahapannya. Mulailah dengan Kitab Allah, kemudian dengan Sunnah Rasul-Nya, kemudian

ilmu-ilmu Al-Qur'an, seperti ilmu tafsir, nasikh wa mansukh (yang meng¬hapus dan yang dihapus), muhkam wa mutasyabih (yang pasti ketentuan hukumnya dan belum pasti) dan lain sebagainya. Setelah menelaah Sun¬nah, bolehlah engkau menyibukkan diri dengan masalah-masalah furu' dan ushul fiqih. Begitu pula ilmu-ilmu yang lain, selagi ada kesempatan untuk mempelajarinya. Janganlah engkau menghabiskan umurmu dalam satu jenis ilmu karena ingin mendapatkan predikat spesialisasi. Sesungguhnya ilmu itu sangat banyak, sementara umur manusia sangat terbatas. Ilmu¬ilmu ini hanya sekedar sebagai alat untuk mendapatkan tujuan yang lain. Segala sesuatu yang memang menjadi sarana untuk suatu tujuan, maka ia tidak boleh diabaikan.

Sumber : Kitab Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah

Ilmu Muamalah

Ilmu mu'amalah ialah ilmu tentang keadaan-keadaan hati, seperti takut, berharap, ridha, jujur, ikhlas dan lain-lainnya. Karena ilmu inilah

para ulama terkenal menjadi harum namanya dan semakin terkenal, seperti Sufyan Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'y dan Ahmad. Kalau pun ada sebagian orang yang disebut fuqaha dan ulama, tapi tidak setinggi derajat orang-orang tersebut di atas, karena mereka sibuk dengan berbagai gambaran suatu ilmu, tanpa memiliki kesempatan untuk mendalami ilmu-ilmu yang lain dan hakikatnya secara mendetail. Sebagai contoh, engkau mendapatkan salah seorang fuqaha yang berbicara tentang Zhihar, Wan, taruhan, tuduhan dan berbagai macam cabang masalah, tapi dia tidak mau berbicara tentang ikhlas, tidak menjaga dirinya dari riya', padahal ini termasuk fardhu ain bagi dirinya. Jika dia meremehkan yang kedua, berarti akan membawa kehancuran dirinya. Sedangkan yang pertama adalah fardhu kifayah.

Jika dia ditanya alasannya tidak mau berdialog dengan jiwanya membicarakan masalah ikhlas dan riya', tentu mulutnya akan terkunci rapat-rapat dan tak sepatah kata pun yang keluar sebagai jawaban. Jika dia ditanya tentang alasan kesibukannya mengupas masalah Van dan tuduhan, tentu dia akan menjawab, "Ini adalah fardhu kifayah. " Memang tidak ada yang salah dalam jawabannya ini. Tapi mungkin dia lupa bahwa ilmu hitung juga termasuk fardhu kifayah. Lalu mengapa dia tidak menyibukkan diri dalam ilmu hitung dan menghindar dari masalah jiwa? Karena dia akan mendapatkan ketenaran jika terjun dalam perdebatan masalah fiqih itu, yang tidak bisa diperoleh dengan menekuni ilmu hitung.

Ketahuilah bahwa banyak istilah-istilah yang sudah berubah, muncul istilah-istilah baru dan beralih ke pengertian-pengertian tidak seperti yang dikehendaki orang-orang salaf yang shalih. Di antaranya adalah:

l. Istilah fiqih. Mereka menciptakan bentukan kata ini sedemikian rupa dan mengkhususkannya untuk masalah-masalah furu'iyah beserta alasan-alasannya. Sementara istilah fiqih pada abad pertama diberikan kepada ilmu untuk mencari jalan ke akhirat, mengetahui kisi-kisi cobaan jiwa, perusak-perusak amal, kekuatan hati tentang kehinaan dunia, kehendak yang kuat untuk mengetahui kenikmatan akhirat dan menciptakan ketakutan yang bisa menguasai sanubari.
Karena itu Al-Hasan Al-Bashry Rahimahullah berkata, "Sesungguhnya faqih (seorang ahli fiqih) itu ialah orang yang zuhud di dunia, meng¬hendaki akhirat, mengetahui agamanya, terus-menerus beribadah kepada Rabb-nya, tidak mengusik kehormatan orang-orang Muslim dan harta benda mereka serta memberikan nasihat kepada mereka. " Istilah fiqih lebih banyak mereka konotasikan kepada ilmu akhirat, karena ia tidak menyodorkan fatwa-fatwa, tetapi menyodorkan jalan secara umum dan menyeluruh. Dari sinilah kemudian bertebaran suatu pemalsuan yang mendorong manusia untuk membatasi pada ilmu fatwa secara zhahir dan berpaling dari ilmu mu'amalah untuk akhirat.

2. Istilah ilmu. Dulunya istilah ilmu tertuju kepada ilmu tentang Allah, ayat-ayat-Nya, nikmat dan perbuatan-Nya terhadap hamba, lalu mere¬ka lebih sering mengkhususkan dan menyebut ilmu ini sebagai pan¬dangan terhadap berbagai masalah fiqih, sekalipun mereka tidak mengetahui tafsir dan hadits.

3. Istilah tauhid. Dulunya istilah tauhid merupakan isyarat agar engkau bisa melihat bahwa segala urusan datangnya dari Allah Ta'ala, dengan suatu pandangan yang mampu memotong perhatianmu terhadap sebab dan sarana, sehingga hal ini menghasilkan tawakal dan keridhaan. Tapi sekarang istilah ini berubah menjadi sebuah ungkapan tentang campur tangan teologi terhadap hal-hal yang mendasar. Padahal menurut orang-orang salaf, hal itu termasuk kemungkaran. *)

4. Istilah dzikr (ingat) dan tadzkir (mengingatkan). Allah befirman, "Dan, tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya per¬ingatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. " (Adz¬Dzariyat: 55).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika kalian melewati sebuah taman surga, maka dengarkanlah. "

Para shahabat bertanya, "Apakah sebuah taman surga itu?"
Beliau menjawab, "Yaitu majlis dzikir." (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Ahmad).


5. Istilah hikmah. Makna hikmah adalah ilmu dan pengamalannya. Ibnu Qutaibah berkata, "Seseorang tidak bisa dikatakan hakim (orang yang memiliki hikmah), kecuali setelah menghimpun antara ilmu dan amal.

Sumber : Kitab Minhajul Qoshidin, Ibnu Qudamah

Wajibnya Mencari Ilmu

Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang Muslim. " (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah). )

Ibnul-Jauzy mengatakan, "Orang-orang saling berbeda pendapat tentang ilmu yang diwajibkan ini."

Para fuqaha' (ahli fiqih) mengatakan, bahwa yang dimaksudkan ada¬lah ilmu fiqih. Karena dengan ilmu ini bisa diketahui mana yang halal dan mana yang haram. Para mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadits) mengatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah Kitab dan Sunnah.

dengan keduanya seseorang bisa mencapai semua cabang ilmu. Orang¬orang sufi mengatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu ikhlas dan ujian-ujian jiwa. Para mutakallim (teolog) berkata, bahwa yang dimaksud¬kan adalah teologi.

Begitu seterusnya. Masing-masing pihak mengeluarkan pernyataan yang sama sekali tidak memuaskan. Yang benar adalah ilmu mu'amalah hamba terhadap Rabb-nya. Mu'amalah yang dibebankan di sini meliputi tiga macam: Keyakinan, perbuatan dan apa yang harus ditinggalkan.
Jika seorang anak sudah beranjak besar, maka pertama-tama yang harus dia pelajari adalah dua kalimat syahadat dan memahami maknanya, sekalipun pemahaman ini tidak harus dengan penelaahan dan penyertaan dalil. Sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya meminta pem¬benaran dari orang-orang Arab yang bodoh, tanpa menuntut mereka untuk mempelajari dalil. Tapi yang pasti hal ini hanya dikaitkan dengan waktu alias temporal. Setelah itu dia tetap dituntut untuk menelaah dan menge¬tahui dalil.

Jika sudah tiba waktunya untuk mendirikan shalat, maka dia harus mempelajari cara bersuci dan shalat. Jika tiba bulan Ramadhan, dia harus mempelajari puasa. Jika dia mempunyai harta benda dan waktunya sudah mencapai satu tahun, maka dia harus mempelajari masalah zakat. Jika tiba musim haji dan memungkinkan baginya untuk pergi berhaji, maka dia harus mempelajari manasik haji dan hal-hal yang berkaitan dengan pelak¬sanaan haji.

Tentang hal-hal yang harus ditinggalkan, maka tergantung kondisi¬nya. Sebab tidak mungkin orang yang buta bisa inempelajari apa yang tidak mungkin dia lihat, dan orang bisu tidak mungkin bisa mengucapkan apa yang memang tidak bisa dia ucapkan. Jika di suatu negara ada kebiasaan minum khamr dan mengenakan pakaian sutra, maka dia wajib mengetahui pengharaman dua hal ini.

Tentang keyakinan, maka harus diketahui dan dipelajari berdasarkan sentuhan rasa. Jika terbetik suatu perasaan yang meragukan makna-makna yang ditunjukkan dua kalimat syahadat, maka dia harus mengetahui apa yang membuatnya bisa mengenyahkan keragu-raguan itu. Jika dia berada di suatu negeri yang banyak bid'ahnya, maka dia harus mencari mana yang haq, sebagaimana seorang pedagang yang di sekitarnya memasyarakat praktek riba, maka dia harus mempelajari bagaimana cara mewaspadai riba itu.

Anak itu juga harus mempelajari iman kepada hari berbangkit, surga dan neraka.

Dari penjelasan ini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ilmu yang harus dicari adalah yang termasuk dalam fardhu ain, atau apa yang memang berkait dengan diri seseorang.

Sedangkan yang termasuk fardhu kifayah adalah setiap ilmu yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup di dunia, seperti ilmu kedokteran. Sebab ilmu ini sangat urgen dan diperlukan untuk menjaga kesehatan badan. Begitu pula ilmu hitung, yang sangat dibutuhkan untuk membagi harta warisan, wasiat, hitungan jual beli dan lain-lainnya. Jika penduduk suatu negeri tidak ada yang mempelajari dan menguasai ilmu¬ilmu semacam ini, maka mereka semua adalah orang-orang yang berdosa. Tapi jika sudah ada seseorang atau dua orang yang menguasainya, maka kewajiban menjadi gugur bagi yang lain.

Jika kita katakan, ilmu kedokteran dan ilmu hitung termasuk fardhu kifayah, maka tidak heran jika kita katakan bahwa dasar-dasar ilmu ketrampilan juga termasuk fardhu kifayah, seperti ilmu pertanian, jahit¬menjahit, bahkan juga termasuk ilmu membekam. Jika suatu negeri tidak ada yang menguasai ilmu membekam, tentu banyak di antara mereka yang binasa. Sesungguhnya yang menurunkan penyakit, juga menurunkan obatnya, lalu memberi petunjuk cara penggunaannya.

Sedangkan pendalaman lebih jauh dalam ilmu hitung dan spesialisasi dalam ilmu kedokteran, maka ini termasuk keutamaan, karena memang hal ini juga dibutuhkan. Adakalanya sebagian ilmu hukumnya mubah, seperti ilmu sya'ir yang tidak melemahkan pikiran, ilmu sejarah dan lain-lainnya. Adakalanya sebagian ilmu itu tercela, seperti ilmu sihir, sulap dan ilmu untuk memalsu. Sedangkan ilmu syar'iyah, semuanya terpuji, yang bisa dibagi menjadi empat macam:

1. Ilmu ushul (dasar), yaitu Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya, ijma' umat dan perkataan para shahabat.

2. Ilmu furu' (cabang), yaitu apa yang dipahami dari dasar-dasar ini, berupa berbagai pengertian yang *memberikan sinyal kepada akal, hingga dapat memahami apa yang seharusnya dipahami, seperti pengertian yang diambil dari sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Hakim tidak boleh membuat keputusan selagi dia sedang marah", yang berarti dia juga tidak boleh membuat keputusan hukum selagi sedang lapar.

3. Ilmu muqaddimat (pengantar), yaitu ilmu yang berfungsi sebagaimana alat, seperti ilmu nahwu dan ilmu bahasa, yang menjadi alat untuk memahami Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

4. Ilmu mutammimat (pelengkap), seperti ilmu membaca, makhraj huruf, ilmu tentang nama-nama rijal hadits, keadilan dan keadaan mereka. Semua ini disebut ilmu syar'iyah dan semuanya terpuji.

Sumber : Kitab Minhajul Qoshidin, Ibnu Qudamah

Senin, 09 November 2009

Keutamaan Ilmu

Allah berfirman :

Adakah Sama Orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? (QS. Az-Zumar : 9)

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS. Al-Mujadilah : 11)

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba­Nya hanyalah orang-orang yang berilmu. " (Fathir: 28).

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Orang-orang yang ber­ilmu mempunyai derajat, sebanyak tujuh ratus kali derajat di atas orang­-orang Mukmin. Jarak di antara dua derajat ini terbentang sejauh perjalanan selama lima ratus tahun."

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Barangsiapa yang Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri­nya, maka Dia memberinya pengetahuan dalam masalah agama­nya. "

Dari Abu Umamah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang dua orang, yang satu ahli ibadah, dan satunya lagi orang yang berilmu. Maka beliau menjawab,

"Kelebihan orang yang berilmu atas ahli ibadah, sama dengan kele­bihanku atas orang yang paling hina di antara kalian. "

Setelah itu beliau bersabda,

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, termasuk pula semut di dalam liangnya, termasuk pula ikan paus, benar-benar bershalawat kepada orang-orang yang meng­ajarkan kebaikan kepada manusia. " (Diriwayatkan At-Tirmidzy). )

Dalam hadits lain disebutkan,

"Kelebihan orang yang berilmu atas ahli ibadah ialah seperti kele­bihan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang-gemin­tang. Sesungguhnya orang-orang yang berilmu itu adalah para pewaris nabi-nabi. Mereka (nabi-nabi) itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengam­bil ilmu itu, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak. " (Diriwayatkan Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Dari Shafwan bin Assal Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shal­lallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu, karena ridha terhudap apa yang dicarinya. " (Diriwayatkan Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

Menurut Al-Khaththaby, meletakkan sayap di sini ada tiga penger­tian:

1. Bisa berarti membentangkan sayapnya.

2. Bisa berarti merendahkan dan menundukkannya, karena hendak me­nyampaikan hormat kepada orang yang mencari ilmu.

3. Malaikat itu sendiri turun ke majlis ilmu, menunggui dan tidak terbang dari sana.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

Barangsiapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan baginya ke surga. " (Diriwayatkan Muslim).

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Barangsiapa didatangi kematian pada saat dia sedang mencari ilmu, yang dengan ilmu itu dia hendak menghidupkan Islam, maka antara dirinya dan para nabi (hanya) ada satu derajat di surga. " (Diriwayatkan Ath-Thabrany dan Ad-Darimy).

Sebagian orang bijak berkata, "Aduhai, mengapa ada orang yang tidak sempat mencari ilmu, dan mengapa ada ilmu yang tidak sempat dicari?"

Tentang keutamaan mengajarkan ilmu, telah disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari Sahl bin Sa'd Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali bin Abu Thalib,

"Lebih baik bagi dirimu jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang laki-laki lewat dirimu, daripada engkau memiliki himar yang paling bagus. "

Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya orang yang mengajarkan ke­baikan kepada orang lain, maka setiap hewan yang melata akan memo­honkan ampunan baginya, termasuk pula ikan paus di lautan. " Ada pula satu riwayat lain yang dimarfukan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, serupa dengan ini.

Jika ada yang bertanya, "Bagaimana mungkin ikan paus memohon­kan ampunan bagi orang yang mengajarkan ilmu?"

Jawabannya: Karena manfaat ilmu meliputi segala sesuatu, termasuk ikan paus. Orang-orang yang berilmu tentu tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Mereka tentu akan memberikan nasihat agar berbuat santun kepada segala sesuatu, termasuk terhadap hewan yang disembelih dan ikan paus. Karena itu Allah mengilhamkan kepada setiap makhluk, berupa permohonan ampunan bagi orang-orang yang berilmu itu, sebagai balasan dari perbuatan mereka yang baik.

Dari Abu Musa Radhiyallahu Anhu, dia berkata; "Rasulullah Shal­lallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku diutus Allah dengannya, seperti hujan yang turun di bumi, sebagian di antaranya ada yang berupa tanah bagus yang mengisap air, lalu menumbuhkan rerumputan yang banyak. Di antara bumi itu ada pula yang berupa tanah gundul yang bisa menahan air. Allah memberikan manfaat dengannya kepada manusia, sehingga mereka bisa meminum, mengairi dan menanam. Sebagian hujan itu ada pula yang jatuh ke bagian lain, yang hanya berupa lembah, tidak dapat menahan air dan juga tidak dapat menumbuhkan rumput. Yang demikian inilah perumpamaan orang-orang yang memahami agama Allah dan Allah memberikan manfaat kepadanya seperti yang karenanya aku diutus, lalu dia mengetahui dan mengajarkan, begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau mengangkat kepalanya kepada yang demikian ini dan tidak menerima petunjuk Allah, yang karenanya aku diutus. " (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

Al-Hasan Rahimahullah pernah berkata, "Andaikata tidak ada orang-orang yang berilmu, tentu manusia tak berbeda dengan binatang. " Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu pernah berkata, "Pelajarilah ilmu, karena mempelajari ilmu karena Allah itu mencerminkan ketakutan, mencarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahui adalah shadaqah, membelanjakannya untuk keluarga adalah taqarrub. Ilmu adalah pendamping saat sendirian dan teman karib saat menyepi."

Ka'b Rahimahullah berkata, "Allah mewahyukan kepada Musa Alaihis-Salam, 'Pelajarilah kebaikan wahai Musa dan ajarkanlah kepada manusia, karena Aku membuat kuburan orang yang mengajarkan kebaikan dan mempelajarinya bercahaya, hingga mereka tidak merasa kesepian di tempatnya'. "

Sumber : Kitab Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah

Jumat, 06 November 2009

Semangat Tolabul Ilm


Assalamualaikum warahmatullohi wabarokatuh...

untuk menjaga hidup ini selalu dalam bimbingan Allah, maka kita harus semangat untuk tolabul ilmi. karena banyak sekali faedah yang didapatkan dari kita menuntut ilmu agama, dari di mudahkannya kita menuju jannah sampai kita di doakan oleh malaikat.

Barangsiapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu maka Allah SWT memudahkan jalan baginya ke syurga (HR. Muslim)

begitu besarnya manfaat dan keutamaan mencari ilmu sampai-sampai Allah SWT memberikan jaminan kemudahan menuju JannahNYA,

Sudah saatnya untuk meniatkan setiap langkah kaki kita untuk mencari ilmu dan setiap yang dilakukan demi kemaslahatan agama insyaallah bernilai ibadah.

Imam an-Nawawi dalam kitabnya Riyadhush Shalihin, pada pembahasan “Keutamaan Ilmu” mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama.

Imam an-Nawawi berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu (agama) dan keutamaan mempelajarinya, serta anjuran untuk menuntut ilmu.

Ilmu yang disebutkan keutamaannya dan dipuji oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah ilmu agama. Salah satu ciri utama orang yang akan mendapatkan taufik dan kebaikan dari Allah Ta’ala adalah dengan orang tersebut berusaha mempelajari dan memahami petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam. Orang yang tidak memiliki keinginan untuk mempelajari ilmu agama akan terhalangi untuk mendapatkan kebaikan dari Allah Ta’ala.

Bisa kebayang kalau hidup kita ini kosong tanpa ilmu layaknya sebuah laptop yang mahal namun tidak ada program dan softwarenya,.. kita diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah kepadaNYA, ibadah akan diterima tentunya jika dilakukan berdasarkan ilmu..

Belajar ilmu agama adalah wajib bagi laki-laki, perempuan, kecil besar, tua, muda...