Murottal Al-Quran

Selasa, 10 November 2009

Adab Guru dan Murid

Murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak¬akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah

hati. Dia harus melepaskan diri dari berbagai kesibukan yang lain. Sebab selagi pikiran bercabang-cabang, maka kemampuannya menggali hakikat menjadi terbatas. Orang-orang salaf lebih mementingkan ilmu daripada hal-hal yang lain. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad, bahwa dia baru menikah setelah berumur empat puluh tahun.

Suatu kali Abu Bakar Al-Anbary dihadiahi seorang pembantu wanita yang cantik. Setelah pembantu wanita ini berada di rumahnya, dia berpikir untuk menanyakan suatu masalah kepada Abu Bakar. Karena itu dia masuk ke ruangannya dan hanya mereka berdua saja yang ada di sana. Abu Bakar Al-Anbary segera berteriak, "Bawa wanita ini ke penjual budak! "

"Apa dosaku?" tanya wanita itu.
"Engkau tak bersalah. Hanya saja hatiku bisa sibuk memikirkan dirimu. Wanita semacam dirimu ini tentu akan menghalangiku untuk mendalami ilmu. "

Murid harus menyerahkan kendali dirinya kepada guru, seperti pasien yang menyerahkan penanganan dirinya kepada dokter. Karena itu dia harus merendahkan diri dan benar-benar menurut kepadanya.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu pernah memegangi tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu, seraya berkata, "Beginilah yang kami lakukan terhadap orang yang berilmu."

Selagi murid merasa sombong dengan tidak mau mengambil manfaat dari orang yang mungkin kurang terkenal, maka dia adalah orang yang bodoh. Sebab hikmah adalah milik orang Mukmin yang hilang. Selagi barang itu sudah ditemukan, maka hendaklah dia segera mengambilnya. Hendaklah dia menyerahkan pendapatnya kepada pendapat gurunya. Jika guru salah, masih lebih bermanfaat bagi murid daripada murid merasa dirinya benar.

Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, "Di antara hak orang yang berilmu (guru) atas dirimu ialah: Hendaklah engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir (dalam majlisnya), memberi salam hormat secara khusus kepadanya, duduk di hadapannya, tidak menunjuk dengan tangan ke arahnya, tidak memandang secara tajam kepadanya, tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan, tidak membantunya dalam memberikan jawaban, tidak memaksanya jika dia letih, tidak mendebatnya jika dia tidak menginginkannya, tidak memegang bajunya jika dia hendak bangkit, tidak membocorkan rahasianya, tidak menggunjingnya di hadapan orang lain, tidak mencari-cari kesalahannya, jika dia salah bicara harus dimaklumi, tidak boleh berkata di hadapannya, "Kudengar Fulan berkata begini, yang berbeda dengan pendapatmu", jangan katakan di hadapannya bahwa dia adalah seorang ulama, jangan terus-menerus menyertainya, jangan sungkan-sungkan untuk berbakti kepadanya, jika diketahui dia mempunyai suatu keperluan, maka keperluannya harus segera dipenuhi. Kedudukan

dirinya seperti pohon korma, sedang engkau menunggu-nunggu apa yang akan jatuh darinya."

Orang yang menekuni suatu ilmu, sejak semula jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain, karena niat ini bisa mengacaukan pikiran¬nya dan membuyarkan konsentrasinya. Dia harus mengambil yang terbaik dari segala sesuatu. Sebab umurnya tidak memungkinkan untuk mendalami semua ilmu. Dia harus membulatkan tekadnya untuk memilih ilmu yang paling baik, yang tak lain adalah ilmu yang berkaitan dengan akhirat, yang dengan ilmu itu akan diperoleh keyakinan seperti yang diperoleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu. Sampai-sampai Rasulullah Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam memberikan kesaksian kepadanya, dengan bersabda, "Abu Bakar tidak mengalahkan kalian karena banyak puasa dan tidak pula shalat, tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam dadanya. " )

Sedangkan guru mempunyai beberapa tugas, di antaranya: Menya¬yangi, menuntunnya seperti menuntun anak sendiri, tidak meminta im¬balan uang, tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih, dia harus mengajarkan ilmu karena mengharapkan ridha Allah, tidak melihat dirinya lebih hebat dari murid-muridnya, tetapi dia mau melihat bahwa adakalanya mereka lebih utama jika mereka mempersiapkan hatinya untuk bertaqarrub kepada Allah dengan cara menanam ihnu di dalam hatinya, harus melihat bahwa murid adalah seperti sepetak tanah yang siap di¬tanami. Tidak selayaknya bagi guru untuk meminta balasan kecuali dari Allah semata. Bahkan orang-orang salaf menolak jika ada murid yang memberinya hadiah. Guru tidak boleh menyimpan nasihat yang seharusnya diberikan kepada murid, walau sedikit pun, harus memperingatkannya dari akhlak yang buruk, dengan cara yang sehalus-halusnya, dan tidak boleh mendampratnya, karena dampratan justru akan mengurangi pamor diri¬nya. Guru harus mengetahui tingkat pemahaman murid dan kapasitas akal¬nya, tidak boleh menyampaikan pelajaran di luar kesanggupan akalnya.

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia menurut kadar pemikiran mereka. "

Ali bin Abu Thalib berkata, "Sesungguhnya di sini ada ilmu. Jika aku beruntung mendapatkannya, tentu aku akan membawanya. "

Asy-Syafi'y berkata, "Apakah aku harus menebar mutiara di tempat penggembalaan binatang, dan menata apa yang sudah ditebar bagi peng¬gembala? Siapa yang menyampaikan ilmu kepada orang-orang yang bodoh, maka akan menyia-nyiakan ilmu itu, dan siapa yang tidak menyam¬paikan ilmu kepada orang yang layak menerimanya, maka dia telah berbuat zhalim. "

Guru harus berbuat sesuai dengan ilmunya, tidak mendustakan antara perkataan dan perbuatan. Allah befirman,
"Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab?" (Al-Baqarah: 44).

Ali bin Abu Thalib berkata, "Punggungku terbelah gara-gara dua orang, yaitu orang berilmu yang terbuka aibnya dan orang bodoh yang menjadi ahli ibadah."
Bencana-bencana Ilmu serta Penjelasan antara Mama Su'dan Mama Akhirat

Ulama su' (yang buruk) adalah mereka yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpan¬dang di kelompoknya.

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu meriwayatkan dari Nabi Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Barangsiapa mempelajari suatu ilmu, yang dengan ilmu itu se¬mestinya dia mencari Wajah Allah, dia tidak mempelajarinya me¬lainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada Hari Kiamat. " (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits lain beliau bersabda,


"Barangsiapa mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di ha¬dapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya, maka dia berada di neraka. " (Diriwayatkan At-Tirmidzy).

Di antara orang salaf ada yang berkata, "Orang yang paling menye¬sal saat kematian tiba adalah orang berilmu yang merasa kurang ilmunya." Yang dituntut dari orang yang berilmu ialah memperhatikan perintah dan larangan, bukan status dirinya sebagai orang zuhud atau meninggalkan hal-hal yang sebenarnya mubah. Tetapi sebisa mungkin dia harus mem¬batasi diri dari urusan keduniaan. Sebab memang tidak semua tubuh manusia tahan menghadapi serangan penyakit.

Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats-Tsaury membiasakan makanan yang baik. Dia pernah berkata, "Sesungguhnya apabila binatang melata tidak memperhatikan makanannya, maka dia tidak akan bisa bekerja."

Sebaliknya, Imam Ahmad bin Hambal adalah orang yang sabar menghadapi kondisi kehidupan yang sempit. Memang tabiat manusia berbeda-beda.

Di antara sifat-sifat para ulama akhirat, mereka mengetahui bahwa dunia ini hina sedangkan akhirat adalah mulia. Keduanya seperti dua macam kebutuhan pokok, namun mereka lebih mementingkan akhirat. Perbuatan mereka tidak bertentangan dengan perkataan, kecenderungan mereka hanya kepada ilmu-ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhi ilmu-ilmu yang manfaatnya lebih sedikit, karena lebih mementingkan ilmu yang lebih besar manfaatnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Syaqiq Al-Balkhy Rahimahullah, bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim, "Sudah seberapa lama engkau menyertai aku. Lalu apa saja pelajaran yang bisa engkau serap?"

Hatim menjawab, "Ada delapan macam:

1. Aku suka mengamati manusia. Ternyata setiap orang ada yang di¬cintainya. Namun jika dia sudah dibawa ke kuburannya, toh dia ha¬rus berpisah dengan sesuatu yang dicintainya. Maka kujadikan yang kucintai adalah kebaikanku, agar kebaikan itu tetap menyertaiku di kuburan.

2. Kuamati Allah yang telah befirman,

"... dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu ". (An-Nazi'at: 40).

Sebisa mungkin aku mengenyahkan hawa nafsu, hingga j iwaku menjadi tenang karena taat kepada Allah.

3. Setelah kuamati aku tahu bahwa setiap orang mempunyai sesuatu yang bernilai dalam pandangannya, lalu dia pun menjaganya. Kemudian kuamati firman Allah,
"Apa yang di sisi kalian akan lenyap dan apa yang di sisi Allah adalah kekal ". (An-Nahl: 96).

Setiap kali aku mempunyai sesuatu yang beharga, maka aku segera menyerahkannya kepada Allah, agar ia kekal di sisi-Nya.

4. Kulihat banyak orang yang kembali kepada harta, keturunan, ke¬muliaan dan kedudukannya. Padahal semua ini tidak ada artinya apa-apa. Lalu kuamati firman Allah,
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian ". (Al¬Hujurat: 13).

Karena itu aku beramal dalam lingkup takwa, agar aku menjadi mulia di sisi-Nya.

5. Kulihat manusia sering iri dan dengki. Lalu kuamati firman Allah, "Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. " (Az-Zukhruf: 32).

Karena itu kutinggalkan sifat iri dan dengki.

6. Kulihat mereka saling bermusuhan. Lalu kuamati firman Allah, "Sesungguhnya syetan itu musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian). " (Fathir: 6).

Karena itu aku tidak mau bermusuhan dengan mereka dan hanya syetan semata yang kujadikan musuh.

7. Kulihat mereka berjuang habis-habisan untuk mencari rezki. Lalu kuamati firman Allah,
"Dan, tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezkinya. " (Hud: 6).

Karena itu aku menyibukkan diri dalam perkara yang memang menjadi kewajibanku dan kutinggalkan sesuatu meskipun memberikan keun¬tungan kepadaku.

8. Kuamati mereka mengandalkan perdagangan, usaha dan kesehatan badan mereka. Tapi aku mengandalkan Allah dengan bertawakal kepada-Nya. "

Di antara sifat ulama akhirat, hendaknya mereka membatasi diri untuk tidak terlalu dekat dengan para penguasa dan bersikap waspada jika bergaul dengan mereka.

Hudzaifah Radh'ryallahu Anhu pernah berkata, "Jauhilah beberapa sumber cobaan. "
Ada yang bertanya, "Apa itu?"

Dia menjawab, "Pintu para penguasa. Salah seorang di antara kalian memasuki tempat tinggal seorang penguasa, lalu dia membenarkan diri¬nya dengan cara dusta dan mengatakan apa yang tidak seharusnya dia katakan. "

Sumber : Kitab Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar